"Memangnya, Alana itu wanita seperti apa, Mas?" tanya Hamidah. "Kenapa kamu melarang aku menemuinya?"
Salman tak menjawab pertanyaan itu. Pertanyaan yang dilontarkan istrinya dua hari lalu. Bukan ia tak ingin menjawab, tapi tidak bisa.
Ia tidak pernah bisa menilai orang lain, apalagi tentang seorang wanita. Salman takut melakukan kesalahan fatal untuk kesekian kalinya.
Bagi orang lain mungkin hanya sekedar untaian kata. Tapi baginya, ada konsekuensi yang harus ditanggung, meski hanya berupa penyesalan di dalam dada, namun begitu menyiksa dan tak berujung.
Ia pernah membaca kisah tentang fitnah terhadap Ummul Mukminin Aisyah Radhiyallahu Anha. Beliau dituduh berselingkuh dengan sahabat Rasulullah yang bernama Shafwan bin Mu'aththal. Mendidih hatinya saat membaca kisah tersebut. Bagaimana bisa sosok yang begitu mulia dituduh dengan tuduhan yang begitu keji?
Salman merasa sangat marah, semata karena kecintaannya kepada Baginda Rasulullah yang mulia, dan juga anggota keluarganya. Sejak kecil orang tuanya memang telah menanamkan kecintaan yang mendalam kepada dua tokoh teladan tersebut.
Syukurlah, Allah azza wa jalla membersihkan nama baik Ummul mukminin Aisyah RA. Dan para penyebar fitnah mendapat hukuman cambuk sebanyak delapan puluh kali.
Salman merasa sangat puas dengan hukuman yang diterima para penyebar fitnah itu. Mereka memang pantas mendapatkannya.
Namun, tak dinyana, ternyata ia ditakdirkan melakukan kejahatan yang sama dalam hidupnya.
Salman merasa tak ada bedanya dengan kaum munafik yang telah memfitnah ibunda Aisyah tersebut. Ia sungguh menyesal dan merasa berdosa. Seandainya hukuman cambuk masih berlaku, ia rela dicambuk hingga mati jika itu bisa menebus kesalahannya. Bagaimana tidak? Ia tidak hanya memfitnah satu orang, tapi dua. Dia telah merusak reputasi dua orang wanita sekaligus! Celakalah dirinya!
Pertama, ia membuat ibunda Yudha, teman baiknya, dituduh sebagai wanita malam. Tidak secara langsung memang, tapi kelakuannya yang berbicara tanpa melihat situasi lah yang menyebabkan tuduhan itu tersebar luas. Fajar dan ibunya, ia yakin, pasti sangat dirugikan atas kejadian tersebut.
Salman tidak pernah memiliki kesempatan untuk memperbaiki kesalahannya dan memohon maaf dikarenakan mereka menutup pintu komunikasi.
Yang kedua, Salman menuduh Alana sebagai wanita nakal, padahal kenyataannya bukan. Yang ini bahkan jauh lebih menyakitkan.
Ia masih ingat hari itu. Hari di mana ia memutuskan untuk keluar dari kamarnya setelah satu bulan mengurung diri, dikarenakan trauma atas kejadian di malam naas akibat ulah Alana.
Perempuan muda itu menemuinya di belakang Masjid kampus, di mana Salman terdaftar sebagai pengurus DKM.
"Bagaimana kabarmu?" tanya Alana dengan tatapan angkuh. Tak ada lagi senyum atau sikap ramah seperti biasanya.
"Kau pikir bagaimana kabarku setelah malam itu?!" Salman tak dapat menyembunyikan perasaan geramnya.
Alana tersenyum sinis. "Jadi, bagaimana rasanya tidur dengan wanita sepertiku?"
Salman tersulut emosi. "Brengsek, kau!" hardiknya. "Kau adalah wanita paling buruk yang pernah aku temui!" Salman mengarahkan telunjuk kanannya tepat ke wajah Alana. "Kau tidak pantas untuk laki-laki baik-baik. Ku doakan kau menderita seumur hidupmu!"
Alana menyilang dua tangan di dada. "Oh ya?!" katanya dengan sikap tak acuh.
"Kenapa Kau melakukan hal ini padaku, Brengsek?!"
Dua alis Alana terangkat. "Menurutmu?"
"Mana ku tahu!" jawab Salman. "Kalau aku tahu ternyata kau seburuk ini, aku bahkan tak akan pernah bersikap baik padamu."

KAMU SEDANG MEMBACA
Bahagia Milik Kita
RomanceAlana adalah orang tua tunggal. Dia ibu dari seorang anak bernama Angga. Mereka hidup bahagia meski kerap disandra kesulitan dan ujian hidup.