Waktu telah melewati pukul tujuh malam saat Alana mendengar pintu kamarnya diketuk. Ia tengah membaca buku cerita bersama Angga saat itu. Alana meminta puteranya untuk menunggu sementara ia mencari tahu siapa yang tengah mengetuk.
Seorang wanita dengan senyum mengembang berdiri di depan pintu saat benda itu dibuka.
"Mbak Santi." Alana menyapa wanita itu.
"Hai!" Santi melambai-lambaikan tangan. Senyum masih setia bertengger di wajahnya."Lagi ngapain?"
"Lagi baca buku cerita sama Angga." Alana menggeser tubuhnya agar Santi bisa melihat puteranya yang sedang berbaring dengan tangan memegang buku.
"Bisa kita bicara?" tanya Santi. Alana menjawab dengan anggukan kepala.
Wanita berusia tiga puluh tahaun itu lantas mengatakan kepada Angga bahwa ia akan meninggalkannya untuk bicara dengan Santi. Sang lelaki kecil mengangguk dan meneruskan membaca buku.
Santi telah duduk di bangku panjang saat Alana menghampirinya di taman. Mereka cukup sering melakukan obrolan malam di tempat itu. Biasanya yang dibicarakan adalah soal anak-anak dan pekerjaan.
Santi dan suaminya sudah bercerai beberapa tahun lalu. Puteri sulung majikan Alana itu adalah seorang ibu dari tiga orang anak. Kini, ia adalah orang tua tunggal yang harus mencari nafkah tanpa bantuan ayah dari anak-anaknya. Alana banyak belajar dari wanita baik hati itu.
"Aku mendengar tentang apa yang terjadi padamu tadi pagi dari ibuku," ucap Santi.
Alana yang duduk di sampingnya sontak menoleh. Ia mengerti ke mana arah pembicaraan mereka. "Itu bukan apa-apa ...."
Santi menghela nafas. "Aku mengerti situasimu," ucapnya. "Sampai hari ini, aku tidak bisa menghubungi mantan suamiku dikarenakan istri barunya memblokir jalur komunikasi kami." Wanita itu menatap nanar lampu taman yang menerangi pertemuan mereka. "Anak-anakku menjadi korban dari keegoisan orang-orang dewasa yang seharusnya melindungi mereka ...." Santi terdiam beberapa saat.
Alana bisa melihat kesedihan yang begitu besar dalam raut wajah wanita di sampingnya. Meski Alana tidak pernah menceritakan secara detail semua yang terjadi padanya di masa lalu. Namun, mereka seolah berada pada irisan takdir yang sama. Mereka senasib sepenanggungan. Karena itu keduanya bisa menjadi teman bicara yang sangat baik.
Santi menatap Alana. Lalu berkata, "Kau baik-baik saja?"
"Aku baik-baik saja." Alana tersenyum. "Aku sudah mempersiapkan diriku untuk menghadapi hal-hal seperti itu."
"Ini tidak akan mudah."
Alana mengangguk. "Aku tahu. Tapi aku akan baik-baik saja."
Santi meraih tangan Alana, lalu menggenggamnya erat. "Aku sangat senang karena kau baik-baik saja." Wanita itu tersenyum dengan wajah dipenuhi haru. "Sejak pertemuan pertama kita, aku selalu bertanya-tanya tentang keadaanmu. Aku selalu berdoa semoga kamu baik-baik saja."
Alana mengernyit. "Pertemuan pertama?" tanyanya heran.
"Iya." Santi mengangguk. "Mungkin kau lupa. Tapi, pertemuan pertama kita bukan di halte. Di tempat lain ...."
"Di mana?"
"Di jembatan layang ...." Santi menatap lekat-lekat wanita di sampingnya.
Alana terperangah karena ditatap seperti itu. Ia membuka kembali laci memorinya selama beberapa tahun ini. Satu-satunya ingatan yang muncul soal jembatan layang adalah saat ia mencoba menjatuhkan dirinya sendiri. Saat itu, ia sedang berada di titik terendah dalam hidupnya. Dia sedang hamil, diusir dari rumah orang tuanya, tidak memiliki teman yang bisa dimintai bantuan, tidak punya uang, bahkan tidak ada tempat untuk pulang.

KAMU SEDANG MEMBACA
Bahagia Milik Kita
RomansaAlana adalah orang tua tunggal. Dia ibu dari seorang anak bernama Angga. Mereka hidup bahagia meski kerap disandra kesulitan dan ujian hidup.