Bab 19

4.1K 356 19
                                    

Hamidah menyesal. Sungguh. 

Dia menyesal membawa dua orang sahabatnya ke tempat ini.

Semalam, alih-alih pulang ke rumahnya sendiri untuk menemui Salman, dia justru mendatangi kediaman Yulia, salah satu sahabatnya. Dia membutuhkan teman bicara, dan dia butuh pundak untuk menumpahkan tangisnya.

Yulia dan Dian—sahabat Hamidah yang lain, sangat marah saat ia menceritakan tentang kondisi rumah tangganya, terutama terkait dengan keberadaan anak laki-laki milik Salman yang dilahirkan oleh wanita lain. Ditemani dua orang itu, Hamidah menangis semalaman.

Pagi harinya, ketika matahari masih berada di sisi timur namun telah menerangi seperempat langit, ditemani Yulia dan Dian, Hamidah mendatangi kedai bakso tempat wanita itu bekerja, berbekal informasi yang dia dapatkan dari Surya secara paksa. Awalnya, Hamidah hanya ingin memperhatikan dari jauh, dia hanya ingin melihat wanita itu secara langsung. Hanya itu tujuannya.

Karena itu, Hamidah meminta Yulia memarkir mobil di luar area parkir kedai. Dia tidak hendak melakukan interaksi secara langsung dengan wanita yang konon bernama Alana itu, dan dia sukses menahan dirinya. Namun, tidak dengan dua sahabatnya. Yulia dan Dian langsung saja menghardik Alana saat wanita itu muncul dari arah luar kedai, sepertinya, dia baru saja pulang dari pasar karena membawa beberapa kantung berisi sayuran. Yulia bahkan sempat menumpahkan botol berisi air mineral ke kepala Alana yang terbalut kain kerudung berwarna hitam. Dua sahabat Hamidah itu begitu berapi-api membela dirinya, mengucapkan kata-kata penuh penghakiman pada Alana.

"Lihat, Midah!" ucap Yulia dengan suara keras, "dia bahkan tak jauh lebih cantik darimu."

"Benar, kau jauh lebih baik darinya, entah apa yang dilihat suamimu dari wanita ini." Dian menimpali kata-kata Yulia sambil menunjuk-nunjuk tepat di depan wajah Alana.

Hamidah menatap wanita itu dari kepala hingga ke kakinya. Memang benar, jika dilihat dari penampilan luar Hamidah jauh baik. Alana mengenakan kaus polos lengan panjang berwarna putih dipadu celana bahan warna cokelat dan kerudung paris segi empat. Wajahnya terlihat pucat karena tanpa polesan make up. Ia menggunakan sendal jepit dengan tali berwarna biru sebagai alas kaki.

Berbeda dengan Hamidah, saat ini, dia mengenakan setelan gamis dan kerudung bergaya modis berwarna merah marun dari merek pakaian Muslimah terkenal. Soal alas kaki jangan ditanya, ia adalah wanita yang cukup hobi mengoleksi sepatu. Hamidah juga rutin menggunakan skincare untuk memelihara kesehatan kulit tubuh dan wajahnya, ia terlihat bersinar meski hanya tipis-tipis memoles bedak. Tapi, tentu tidak benar membanding-bandingkan orang seperti itu bukan?!

Hamidah bukan orang picik yang mudah merendahkan orang lain hanya karena tampilan luar mereka. Ia adalah anak dari sepasang orang tua yang terpelajar. Hamidah diajarkan untuk selalu menghargai orang lain, betapa pun buruknya keadaan mereka. Setiap orang memiliki kebaikan dalam dirinya, begitu ibunya selalu berpesan.

"Apakah kamu punya hati nurani?!" Yulia bertanya dengan nada sinis pada Alana. "Kok bisa-bisanya menggoda suami wanita lain?!"

"Benar, sampai punya anak lagi!"Kembali, Dian menimpali kata-kata Yulia. "Seharusnya kamu menjauhi laki-laki yang sudah menikah dengan wanita lain!"

"Jangan sedih, Midah." Yulia berjalan mendekat. "Wanita itu tidak ada apa-apanya dibanding kamu. Salman pasti cuma lagi khilaf aja. Dia salah mengenali mana wanita yang pantas untuk dirinya."

Mungkin, Yulia dan Dian hendak membesarkan hati Hamidah dengan membanding-bandingkan antara dirinya dan Alana seperti itu. Namun, yang ia rasakan justru sebaliknya.

Hamidah bisa jadi terlihat jauh lebih baik dari Alana, dia memiliki kelebihan-kelebihan yang tidak dimiliki wanita itu. Tapi, Alana justru memiliki apa yang menjadi kekurangan terbesarnya. Dia telah melahirkan seorang anak untuk Salman. Itulah kekurangan terbesar Hamidah.

Bahagia Milik KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang