Bab 37

1.8K 148 6
                                        

Laki-laki berusia empat puluh tahun itu bernama Arya. Nafasnya memburu setiap kali teringat apa yang telah berlaku beberapa hari lalu. Ia diberhentikan dari pekerjaan. Dengan tidak hormat. Ia kesal dan sakit hati.

Arya sungguh mengerti bahwa ia telah melakukan kesalahan. Akan tetapi ia bukan satu-satunya. Ada orang lain yang sesungguhnya mendalangi penyimpangan itu. Ya, mereka menyebut apa yang dilakukannya sebagai penyimpangan.

Teringat ia akan kejadian beberapa bulan lalu, saat diajak seorang rekan untuk membuat data penerima beasiswa fiktif. Arya awalnya menolak, tapi saat melihat bahwa teman yang mengajaknya itu memperoleh uang yang lumayan banyak, ia menjadi turut serta. Terlebih sang teman menjamin bahwa situasi mereka cukup aman. Penyimpangan ini tak akan tersingkap oleh siapa pun. Namun, yang terjadi justru sebaliknya.

Serapat apa pun bangkai disembunyikan, akan tercium juga baunya suatu saat.

Salman—atasan Arya, entah bagaimana ceritanya bisa mengetahui apa yang Arya dan rekannya lakukan. Mereka diinterogasi dan disodorkan bukti-bukti yang sulit sekali disanggah. Dan tanpa menunggu lama, mereka dipecat saat itu juga. Arya tak pernah mengira Salman akan setegas itu. Salman yang selama ini ia kenal adalah laki-laki yang baik dan penuh toleransi.

Yulia—istri Arya, beberapa menit lalu menelepon Hamidah, sahabatnya, untuk memohon maaf sekaligus meminta Salman agar bisa memanggil suaminya kembali bekerja. Bagaimana pun, selama ini hubungan pertemanan mereka cukup erat. Arya memang dipekerjakan oleh Salman karena faktor kedekatan dua perempuan tersebut.

"Sudah bagus Kamu tidak dilaporkan ke polisi, Mas," ucap Yulia dengan wajah lesu. Hamidah baru saja menolak permintaannya untuk membujuk Salman. "Aku jadi tidak enak menghadapi Midah."

Arya berdecak. Kesal karena sang istri hanya mempedulikan hubungan pertemanan yang menurutnya sama sekali tak berharga itu. "Lebih tidak enak lagi nanti, saat kamu kehabisan uang belanja, dan anak merengek minta jajan." Laki-laki itu berwajah sinis.

Yulia menatap prihatin pada suaminya. Entah kenapa seolah ia terlihat tanpa rasa bersalah. Padahal yang dilakukannya bukan perkara sederhana. Penggelapan dana adalah tindak kejahatan. Yulia sendiri sejujurnya kaget bukan kepalang saat diberitahu bahwa Arya diberhentikan karena menggelapkan dana yayasan. Entah apa alasannya sampai tergoda berbuat demikian. Padahal, Yulia tidak pernah meminta nafkah di luar kemampuan sang suami. Gaji yang diperoleh dari yayasan lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarga kecil mereka.

Yulia menatap nanar punggung suaminya yang bergerak menjauh, melangkah keluar dari kamar. Laki-laki itu berpaling karena mendengar suara berisik klakson mobil baru milik tetangga.

.

.

.

"Wah, bagus ya mobilnya, pak Fajar," ucap Arya sambil mengelus kaca mobil baru milik tetangganya.

Sang pemilik mobil tersenyum penuh kebanggaan. "Lumayan lah, pak Arya, rezeki ibu saya ini...."

"Oh, ya?" Arya merasa tertarik. "Ibu bapak baru jual rumah?"

Fajar menggeleng. "Oh, tidak, baru dapat kompensasi."

"Kompensasi?" Arya menatap mobil seharga hampir setengah milyar di sampingnya dengan jiwa tergelitik. 'Kira-kira, hal apa yang bisa mendatangkan kompensasi sebesar ini?' Benaknya bertanya.

"Iya," jawab Fajar. "Ibu saya kan sejak tujuh tahun lalu mengurus anak orang tanpa dibayar, sekarang, setelah si anak diasuh ayahnya, Ibu saya diberi kompensasi, sebagai balas jasa."

Arya mengernyit. "Anak siapa memangnya?"

Fajar memperlihatkan kartu nama yang diberikan Salman padanya kepada Arya. Membuat laki-laki itu terkejut bukan main.

Bahagia Milik KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang