Bab 27

2K 156 7
                                        

"Midah!" Seseorang memanggil namanya.

Hamidah yang baru saja masuk ke area pesantren menoleh ke arah asal suara terdengar. Ibu mertuanya terlihat sedang berdiri sambil melambaikan tangan. Gegas Hamidah berlari menghampiri.

"Assalamu'alaikum, Umi." Hamidah mencium tangan wanita itu.

"Wa'alaikumussalam." Sang mertua menjawab seraya  mengelus kepala Hamidah dengan tangan kirinya. "Kamu dari mana? Dari tadi Umi cari loh...."

Hamidah tersenyum. "Habis ada  perlu di luar," jawabnya.

"Salman mana?" Wanita yang biasa dipanggil Ustadzah Fatiya itu melihat sekeliling, mencari-cari  putera kesayangannya.

"Mas Salman kayaknya di asrama santri."

"Oh...." Ustadzah Fatiya menggamit lengan Hamidah seraya membimbingnya berjalan. "Itu anak siapa, Midah?"

"Hah?!" Hamidah tak mengerti maksud pertanyaan sang ibu mertua. "Anak yang mana, Umi?"

"Yang dibawa Salman."

"Oh ...." Akhirnya ia paham. Yang ditanyakan mertuanya ada Angga. "I-itu ...." Tiba-tiba saja Hamidah kehilangan kata-kata.

Ustadzah Fatiya menatap menantunya yang tak kunjung bicara beberapa saat. "Anak asuh Salman?"

"I-iya?!" Hamidah tak yakin bagaimana harus menjawab pertanyaan wanita yang masih berjalan santai bersamanya itu.

"Siapa orang tuanya?Kamu kenal?"
Hamidah mengangguk seraya meneguk saliva. Perasaannya tak karuan. "Itu...."

"Orang tuanya masih ada? Kerja apa?"

"Ibunya jualan bakso," jawab Hamidah. "Ayahnya...."

"Sudah wafat?" tanya stadzah Fatiyah.

"Hm...." Hamidah kembali mengangguk, lalu tersenyum canggung.

Wanita itu menggesek tangannya yang basah karena keringat ke gamisnya yang berbahan kain brokat. Seumur hidup, Hamidah hampir tidak pernah berbohong. Rasanya begitu tak nyaman, terlebih, ia harus berbohong pada sang ibu mertua yang ia hormati melebihi orang tuanya sendiri.

Ya, harus!

Hamidah merasa harus berbohong. Ia sangat takut dengan konsekuensi yang akan terjadi jika mengatakan yang sebenarnya. 'Paling tidak, ini untuk kebaikan semua pihak', begitu batinnya berbisik.

"Salman!" Hamidah mendengar ustadzah Fatiya memanggil nama suaminya.

Salman nampak tengah berdiri di belakang sekumpulan anak di sebuah lapangan. Seorang guru laki-laki berdiri depan kumpulan anak-anak tersebut sambil memberikan pengarahan. Lapangan itu berada hanya beberapa meter  dari lokasi mereka tengah berdiri.

"Ayah ke sana dulu ya!" Dengan suara cukup keras Salman bicara pada anak yang sejak tadi berada di sisinya, yang ternyata adalah Angga.

Laki-laki itu berlari menghampiri ibu dan istrinya segera setelah dibalas anggukkan kepala oleh sang anak. Kegugupan Hamidah semakin bertambah seiring langkah suaminya yang semakin dekat.

"Dia panggil kamu 'ayah'?" Salman disambut dengan pertanyaan tersebut.

"I-iya, Umi. Di-dia---"

"Dia memang ingin bang Salman menjadi ayah penggantinya, Umi!" Hamidah menyela. Bicara dengan suara sekeras yang ia bisa.

Salman menoleh pada Hamidah. Tatapan tak suka tersaji di wajahnya, lantas ia berkata pada ibu kandungnya, "Umi, dia---"

"Ibunya bilang, dia sangat sedih karena harus kehilangan ayah sejak masih kecil." Hamidah tak memberi Salman kesempatan untuk menjawab pertanyaan ibunya. "Kondisi psikologis anak itu akan terganggu jika ada yang membahas soal ayah."

Bahagia Milik KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang