"Alana...?" Pemuda itu menyapa. Senyum heran bercampur kerinduan menghiasi wajahnya. Tak ayal, perasaan haru membuat Alana meneteskan air mata.
Pemuda itu bernama Alvin. Ia berusia lima tahun lebih muda dari Alana. Mereka bertemu pertama kali saat ibu Alvin yang merupakan seorang penjual nasi uduk keliling datang ke rumah Alana untuk menjajakan dagangannya.
Wajah kecil Alvin yang waktu itu berusia tiga tahun menyembul dari balik punggung ibunya saat ibu Alana memanggil wanita tersebut. Setelah dibebaskan dari gendongan ibunya yang sibuk membungkusi nasi uduk, Alvin bermain bersama Alana. Meski baru pertama kali bertemu, entah kenapa mereka bisa begitu akrab. Alvin tak sekalipun menolak saat Alana ingin memeluk atau menggendognya.
Terdengar di telinga Alana pertanyaan ibunya kepada ibu Alvin, tentang di mana mereka tinggal, yang ternyata hanya berbeda RT saja. Dikatakan juga bahwa ibu Alvin dan suaminya datang merantau dari sebuah desa di ujung selatan provinsi Jawa Barat. Sementara ayah Alvin bekerja sebagai tukang, ibunya berjualan nasi uduk keliling di pagi hari, sedangkan di siang harinya berjualan gado-gado di depan rumah mereka yang saat itu masih rumah semi permanen. Alana yang sudah kadung jatuh hati pada lelaki mungil itu bertekad mengunjungi rumah mereka saat pulang sekolah. Telah lama sekali ia ingin memiliki seorang adik.
Keesokan harinya, sesuai rencana, Alana mengunjungi rumah itu. Sebuah plang berisikan tulisan 'Gado-Gado Ibu Alvin' menjadi petunjuknya. Alana mengatakan bahwa ia hendak membeli gado-gado atas perintah ibunya. Sambil menunggu gado-gado dibuat, Alana menghabiskan waktu bersama Alvin kecil.
Selanjutnya, hampir setiap hari ia datang sepulang sekolah, menghabiskan satu hingga dua jam di setiap kedatangannya. Awalnya ibu Alvin merasa heran, mengapa Alana jadi sering sekali berkunjung, namun karena ia turut terbantu dengan kehadiran Alana--ada yang menjaga putera semata wayangnya selama berjualan, keheranan itu perlahan berubah menjadi hal yang dirasa sebagai kebiasaan, bahkan kebutuhan. Kedatangan Alana selalu disambut ceria oleh ibu Alvin, terlebih oleh puteranya.
Setahun ... dua tahun ... tiga tahun ... hingga tahun ke sekian di masa mereka saling mengenal dan membutuhkan, Alana semakin terlihat seperti anak sulung di rumah berloteng kayu tersebut. Hingga Alvin dan Alana memasuki usia remaja, hubungan keduanya masih tetap sama, dekat bak saudara.
Saat Alana mulai menempuh pendidikan Sekolah Menengah Pertama, penyakit ibunya mulai menunjukkan gejala yang cukup berat, di mana ia selalu kehilangan kesadaran, sering memukuli dan mencaci maki Alana jika sedang di fase depresi. Ke rumah Alvin lah Alana akan datang demi menyelamatkan diri. Loteng kayu di rumah itu selalu menjadi 'tempat aman' baginya.
Dari pembicaraan orang-orang sekitar, ibu Alvin tahu banyak informasi tentang Alana dan bagaimana kondisi keluarganya. Didorong oleh rasa prihatin, ia membiarkan saja Alana menjadi penghuni tetap loteng kayu yang sebenarnya berfungisi sebagai gudang itu. Semakin lama, di loteng kayu semakin banyak terdapat barang-barang milik Alana, terutama komik dan buku-buku cerita.
Saat usia Alvin dua belas tahun, ayahnya meninggal dunia. Ia dan ibunya diusir oleh orang mengaku sebagai pemilik rumah, padahal setahu sang ibu, rumah yang telah belasan tahun mereka huni itu sudah dibeli. Akan tetapi dikatakan bahwa, masih ada hutang pelunasan sejumlah sepuluh juta yang harus dibayarkan jika Alvin dan ibunya ingin tetap menghuni rumah tersebut. Meski merasa diperlakukan tidak adil, ibu Alvin tetap berusaha memenuhi tuntutan si 'pemilik rumah'. Wanita yang tubuhnya sudah mulai ringkih karena menderita beberapa penyakit itu menghabiskan tabungan yang semula akan digunakan untuk membayar keperluan sekolah Alvin. Ia juga meminjam uang kepada beberapa orang, meski tanpa hasil. Dan Alana, tentu tidak bisa diam saja. Ia tidak rela kehilangan 'rumah aman' yang sudah bertahun-tahun menjadi tempatnya melarikan diri.
Apa yang Alana lakukan? Ia mengambil tabungan ibunya.
Sebagai anak yang cukup sering mendampingi, baik saat normal maupun sakit (di fase depresi), Alana tahu persis bahwa sang ibu memiliki tabungan, dan di mana tabungan itu diletakkan. Diam-diam ia mengambil uang delapan juta rupiah milik ibu kandungnya lalu memberikan uang itu langsung kepada orang yang mengaku sebagai pemilik rumah yang dihuni Alvin dan ibunya. Dengan penuh keberanian, Alana meminta kepada orang tersebut untuk tidak menganggu mereka lagi.
![](https://img.wattpad.com/cover/285739273-288-k88792.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Bahagia Milik Kita
RomanceAlana adalah orang tua tunggal. Dia ibu dari seorang anak bernama Angga. Mereka hidup bahagia meski kerap disandra kesulitan dan ujian hidup.