"Loh, pak Surya?" Seorang pria menyapa Surya. Ternyata orang itu adalah salah satu pengurus RT yang pernah berurusan dengannya saat ia mencari anak-anak yang akan didaftarkan dalam seleksi beasiswa.
"Selamat siang, Pak."
"Selamat siang, saya Jamal, Pak." Mereka bersalaman. "Pak Surya ada perlu apa datang ke sini?"
"Saya mau cari rumah bu Lana."
Jamal nampak berpikir beberapa saat. Lalu bicara, "Maksudnya bu Alana? Yang kerja di minimarket?"
"Oh, iya, Pak. Benar yang itu." Surya senang sekali.
"Tadinya sih, bu Alana tinggal di rumah bu Nur." Jamal menunjuk sebuah rumah dengan pagar besi warna hitam. "Itu rumahnya. Tapi ...."
"Tapi kenapa, Pak?" tanya Surya.
"Mereka sudah pindah, Pak. Tadi pagi. Bu Nur dibawa anak-anaknya, rumahnya mau dijual. Jadi, bu Alana sama anaknya diminta pindah."
Surya menghela nafas setelah mendengar penjelasan Jamal. Dadanya kembali dipenuhi sesak.
"Saya denger-denger ...." Jamal tidak meneruskan kata-katanya.
"Denger apa, Pak?"
"Saya denger, bu Lana nyuri barang punya atasan Bapak ya? Itu bener, Pak?"
Surya keras menggeleng. "Enggak, Pak. Itu gak bener. Kami salah sangka. Tablet milik atasan saya ternyata jatuh, bukan dicuri."
Jamal tercengang. "Jadi, begitu kejadiannya, Pak?"
"Iya. Makanya, saya datang ke sini. Mau minta maaf secara langsung sama bu Lana. Saya bersalah menuduh beliau waktu itu."
"Wah ... kalau begitu kasihan bu Lana, Pak. Kabar dia nyuri barang di kantor Bapak udah nyebar sampai satu kampung ini. Gara-gara itu juga, dia diminta pindah sebenarnya. Anak-anak bu Nur takut rumah ibunya diambil alih bu Alana, mereka kemakan gossip."
Seolah-olah, Surya kehilangan seluruh tenaganya. Dia semakin tenggelam dalam perasaan bersalah. "Astaghfirullahalaazhiim ...," gumamnya pelan.
"Saya tahu tempat kerja bu Alana yang baru, Pak." Jamal berkata sambil mengelus pundak Surya.
"Oh ya? Di mana?"
"Di warung bakso yang ada di deket komplek perumahan Harapan Indah. Namanya kalau gak salah 'Warung Bakso Pak Warto."
"Wah, makasih, Pak." Surya menyalami Jamal. Lalu pamit dan berlalu pergi.
***
"Permisi, saya mau bertemu bu Lana."
Alana mendengar seorang laki-laki bertanya kepada bosnya, bu Warto. Bergegas ia berjalan mendekat. Satu pekan lalu mereka bertemu, dan ia masih sangat mengingat postur tubuh laki-laki itu.
"Saya di sini, Pak? Ada apa ya?" tanya Alana. Meski ia ingat siapa dan di mana mereka bertemu, namun namanya terlupakan.
Laki-laki itu berbalik. "Oh, bu Lana," katanya sambil membungkuk. "Saya Surya, dari Yayasan Supersemar."
Ah, Alana sangat bersyukur ia menyebutkan namanya, jadi tidak perlu susah-susah menggali ingatan. "Ada apa, pak Surya?" tanya Alana. Luka di hatinya kembali terbuka. Masih teringat rangkaian kejadian selepas ia mengunjungi kantor laki-laki itu satu pekan lalu.
"Ini, Bu." Surya berdehem. "Maksudnya, kami ... mau meminta maaf secara langsung. Sudah menuduh Ibu mencuri barang milik pak Salman, atasan kami. Dan, terkhusus lagi saya ... saya lah yang pertama kali melempar dugaan tablet milik pak Salman dicuri oleh Ibu ...."
Alana menghela nafas. Begitu juga dengan Surya yang tiba-tiba berhenti bicara.
"Saya salah, saya sangat bersalah. Tablet milik pak Salman ternyata jatuh."
Alana mendongak. "Tabletnya sudah ketemu?"
Surya mengangguk. "Iya, jatuh terselip antara meja dan sofa yang ada di ruangan pak Salman."
Alana menghela nafas lagi. Kali ini, karena perasaan lega. "Alhamdulillah ...," gumamnya pelan. Akhirnya, tuduh pencurian itu terbukti tidak benar. Meskipun, isu bahwa ia mencuri sudah tersebar cukup luas dan sukses mencoreng nama baiknya. Tapi tidak apa-apa.
Alana sudah terbiasa diperlakukan buruk oleh orang lain. Dan yang pasti, itu bukan yang paling penting, yang paling penting adalah, beban di hatinya sudah terlepas. Ia sudah bebas.
"Saya tahu ... situasi bu Lana sudah cukup sulit akibat tuduhan kami tersebut." Surya bicara lagi. "Kami bersedia membuat klarifikasi secara tertulis, kami akan menyebarkannya melalui media agar nama bu Lana bisa dibersihkan."
"Ah, tidak perlu, Pak." Alana menolak. "Begini saja sudah cukup. Jujur saja, saya tidak peduli jika orang lain memandang saya buruk. Itu hak mereka. Yang jelas, saya berterima kasih karena Bapak dan rekan-rekan di Yayasan mengakui kalau tuduhan itu salah. Itu saja sudah cukup bagi saya."
Surya manggut-manggut mendengar kata-kata wanita di hadapannya. Ia sama sekali tidak menyangka respon Alana akan seperti ini. Ia pikir, wanita itu akan marah, menangis atau menyalahkannya. "Saya akan ajak teman-teman saya di kantor untuk datang ke sini sore ini. Untuk makan dan sekalian menemui bu Lana, untuk menyampaikan maaf secara langsung."
Alana membeku. Saat Surya menyebut frasa 'rekan-rekan di kantor', ia teringat akan Salman. Air matanya luruh beberapa tetes, namun, segera saja dia menghapusnya. "Jangan!" Alana berseru.
"Hah?!" Surya tak mengerti.
"Jangan bawa Salman ke sini! Saya gak mau ketemu dia."
Surya mengernyit, mulutnya terbuka, tapi tak satu pun kata keluar dari mulutnya.
"Jangan bawa dia ke sini!"
"Maksud Ibu ... pak Salman atasan saya?"
Alana mengangguk. "Iya. Dia. Jangan bawa dia ke sini!"
"Apa cuma pak Salman yang tidak boleh diajak ke sini? Kalau yang lain bagaimana?"
Mendengar pertanyaan lanjutan Surya, Alana seperti mendapat siraman kesadaran. Sebelumnya dia terlalu terbawa emosi. "Eh, maaf," katanya. "Maksud saya, silahkan kalau Bapak mau mengajak rekan-rekan makan bakso di sini. Tapi, tidak perlu menemui saya. Untuk makan bakso saja. Saya tidak memerlukan permintaan maaf kalian, baik itu secara lisan maupun tulisan. Bapak datang kepada saya hari ini dan menjelaskan semuanya saja sudah cukup."
Surya menatap Alana. Raut wajahnya dipenuhi keheranan.
"Kalau gitu, saya permisi dulu, Pak. Saya harus kerja. Permisi ...."
Surya menatap Alana yang pergi meninggalkannya dengan benak dipenuhi pertanyaan. Kenapa hanya pak Salman? Apakah Alana begitu membenci atasan Surya tersebut?

KAMU SEDANG MEMBACA
Bahagia Milik Kita
RomanceAlana adalah orang tua tunggal. Dia ibu dari seorang anak bernama Angga. Mereka hidup bahagia meski kerap disandra kesulitan dan ujian hidup.