Bab 7

5.7K 423 3
                                        

"Permisi, Bu." Alana bicara pada seorang wanita paruh baya, "saya Alana, temennya mbak Santi."

"Yang mau kerja ya?" 

"Iya. Saya mau kerja."

"Bagus! Santi barusan telepon." Wanita paruh baya itu menyerahkan sebuah celemek berwarna hitam pada Alana. "Langsung kerja ya! Lagi rame banget, kita udah keteteran."

Alana memandang sekeliling. Warung bakso itu memang ramai sekali. Hanya ada dua orang pelayan yang sibuk hilir mudik tanpa jeda. Belum lagi teriakan para pelanggan meminta ini dan itu. Jam makan siang yang telah tiba, serta kondisi akhir pekan membuat pengunjung warung ini membludak.

"Pesanan meja 12!" Seorang pria berteriak.

"Cepet, ambil pesanan meja 12!" Wanita paruh baya meminta Alana bergegas.

Ibu satu anak itu sontak berlari menghampiri pria yang sedang memegang nampan. Ada empat buah mangkok putih di atas nampan tersebut. Dengan sigap Alana membawa nampan itu ke meja yang nomornya tertera di struk yang juga ada di atas nampan, yaitu nomor dua belas. Setelah meletakkan empat mangkuk bakso di meja dua belas, Alana kembali kepada pria sebelumnya, dia menyuruh Alana membawa minuman pesanan pengunjung di meja yang sama.

Sampai berjam-jam kemudian, Alana sibuk melayani para pelanggan, dia sampai lupa kalau ini hari pertamanya bekerja. Alana sangat menikmati pekerjaan barunya.

***

"Siapa namanya?" Pemilik 'Warung Bakso Pak Warto" itu bertanya pada Alana.

"Saya Alana, Bu. Biasa dipanggil Lana."

"Saya Sartini, biasanya dipanggil bu Warto." Wanita paruh baya tersenyum.

Saat ini pukul enam sore, warung bakso sudah tidak terlalu ramai. Alana baru mendapat kesempatan untuk beristirahat. Bu Warto-pemilik warung menanyai informasi pribadinya.

"Maaf ya, tadi langsung disuruh kerja." Bu Warto tersenyum.

"Enggak apa-apa, Bu, justru saya berterima kasih. Terima kasih, saya sudah diterima kerja."

"Kamu tinggal di mana?"

"Saya tinggal di desa Margahayu, di belakang komplek pertokoan."

Bu Warto manggut-manggut mendengar keterangan Alana. "Tinggal sama siapa di sana?"

"Saya tinggal sama ibu dan anak saya."

"Sudah menikah toh? Suaminya kerja apa?"

Alana mendongak perlahan-lahan. Bibirnya terlipat erat, sementara matanya berkaca-kaca. "Saya gak punya suami, Bu," kata Alana kemudian.

"Ooh ..., janda anak satu?"

Alana mengangguk pelan. Setelah itu menunduk dalam. Sulit baginya untuk menjelaskan tentang status pernikahan. Dia punya anak, tapi tidak pernah menikah. Ia memang pernah melakukan kesalahan delapan tahun lalu hingga membuahkan seorang anak. Tapi meski begitu, dia tidak pernah menyesali kehadiran Angga-putranya, Alana sangat menyayanginya. Dia rela melakukan apa saja untuk anak laki-laki berusia tujuh tahun tersebut.

"Kenal anak saya di mana?" Pertanyaan bu Warto itu membuyarkan ingatan Alana tentang masa lalunya.

"Kenal di jalan, Bu. Gak sengaja ketemu, terus ngobrol."

"Oh, ya sudah." Bu Warto menyerahkan sebuah bungkusan palstik kepada Alana. "Ini sisa bakso buat anakmu. Besok datang lagi jam setengah enam ya! Sekarang sudah boleh pulang."

"Terima kasih banyak, Bu." Alana menerima bungkusan bakso sambil membungkukkan badan. "Saya permisi ...." Lalu ia berlalu pergi

.

.

.

"Ibu bawa apa?"

Angga menyambut kepulangan Alana dan bertanya tentang bungkusan yang ia bawa.

"Ini bakso, Nak."

"Ibu beli bakso?" Angga terlihat begitu bahagia. Mulutnya menganga mendengar jawaban Alana. Lelaki kecil itu memang sangat menyukai bakso.

Alana tertawa gemas sambil mencium pipi putranya. "Ibu sudah dapat kerja," kata Alana, tangannya mengelus-elus pelan rambut Angga.

"Kerja di mana?"

Alana mengangkat bungkusan yang sedang dipegangnya. "Di warung bakso ini." 

Angga tercengang. Mulutnya menganga lebih lebar dari sebelumnya.

"Kita makan bakso sama nenek yuk!" ajak Alana.

"Ayuk! Cepetan, Bu." Angga menarik tangan ibunya, membawanya masuk ke dalam rumah. "Nenek ...! Ayo kita makan bakso." Anak itu berteriak kepada wanita tua yang tubuhnya terbaring di ranjang di tengah rumah.

Bahagia Milik KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang