Bab 23

4.6K 333 12
                                        

Dua insan berstatus suami istri itu menghabiskan sarapan mereka dalam keheningan. Hanya suara sendok dan piring yang beradu yang memenuhi ruangan di mana mereka berada kini.

Sudah dua hari sejak Salman menceritakan semuanya kepada Hamidah. Keduanya lantas mendiamkan satu sama lain. Hamidah selalu kehilangan kata-kata setiap kali ia bertemu muka dengan sang suami. Sementara Salman memang sehari-hari tidak banyak bicara. Dia tahu istrinya tengah diterpa kekecewaan. Laki-laki itu terlalu takut bicara. Takut melakukan kesalahan melalui kata-kata dan menyakiti istrinya lebih dalam lagi.

"Kamu ada rencana apa hari ini?" tanya Salman, setelah sebelumnya berdehem beberapa kali. Dia mencoba melakukan basa-basi.

Hamidah terdiam beberapa saat. Lalu berkata, "Mungkin aku akan pergi ke suatu tempat."

"Kemana? Biar aku antar kamu ke sana."

Hamidah menggeleng pelan. "Aku bisa pergi sendiri."

Salman mengangguk-angguk pelan sementara otaknya berusaha keras menemukan bahan pembicaraan. "Kamu bis---"

"Aku sudah selesai makan, Mas." Hamidah berdiri, lalu membawa piring dan gelas yang telah digunakannya untuk diletakkan di tempat mencuci piring. Wanita itu nampak tak peduli sama sekali dengan apa yang hendak Salman katakan.

"Jangan begini, Midah ...." Salman bicara dengan nada mengiba.

"Begini bagaimana?" tanya Hamidah. Tangan wanita itu sibuk menyabuni benda-benda yang memenuhi wastafel.

Salman berjalan mendekati istrinya. Lalu berkata, "Jangan mendiamkanku seperti ini. Ayo kita bicara! Pasti ada yang ingin kamu katakan setelah aku menceritakan semuanya dua malam lalu."

Hamidah tertawa. Dia merasa lucu atas situasi saat ini. Tiba-tiba saja Salman mengajaknya bicara. Padahal selama ini ....

"Kenapa kamu tertawa?"

"Karena kamu lucu, Mas."

"Lucu?" Salman mengernyit. "Apanya yang lucu?"

"Kamu bersikap seolah-olah kita adalah pasangan suami istri yang memiliki kebiasaan komunikasi yang ahli," jawab Hamidah. "Kita bukan pasangan suami seperti itu! Selama ini Mas tidak pernah terbuka padaku. Mas menyembunyikan banyak hal di belakangku. Yang selalu kamu bicarakan hanyalah hal-hal remeh dan tidak penting sama sekali."

Dua alis Salman bertaut. "Aku tidak mengerti maksudmu ...."

Hamidah mengangguk-angguk. "Ya. Tentu saja. Mas tidak akan mengerti ...," desahnya, "Kamu memang tidak pernah mencoba mengerti posisiku."

"Posisi sebagai apa? Sebagai istri? Tentu saja aku mengerti soal itu."

Hamidah menggeleng pelan. "Tidak," gumamnya.

"Bicaralah lebih jelas, Midah ...."

"Untuk apa kamu menikahiku sebenarnya, Mas?" tanya Hamidah

"Apa maksud pertanyaan itu?" Suaminya balik bertanya. "Bukankah sudah jelas? Aku menikahimu karena aku ingin membangun rumah tangga denganmu."

"Kamu menikahiku hanya untuk memenuhi keinginan Umi dan Abi. Kamu tidak pernah benar-benar berniat menjadi suamiku. Kamu menikahiku hanya untuk status, hanya untuk menyembunyikan masa lalu kamu yang mengerikan."

"Jangan asal bicara!" Salman menyergah seraya melemparkan tatapan berang.

Hamidah kembali tertawa. "Aku tidak asal bicara. Memang seperti ini lah semuanya selama ini. Jujur saja ... aku sudah kehilangan kesabaran."

Helaan nafas panjang keluar dari mulut sang laki-laki yang tengah berseteru dengan istrinya itu. Salman menutup mata, mencoba untuk tidak terbawa emosi demi mendapatkan akal sehatnya kembali. "Baiklah kalau begitu. Begini saja ...."

Bahagia Milik KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang