Diterangi cahaya lampu taman, Alana menatap Salman. Kepada pemilik wajah yang cukup tampan itu ia pernah menaruh rasa suka. Tapi, setelah Salman menyakitinya dengan menumpahkan kata-kata penuh hinaan, rasa suka itu kemudian berubah menjadi benci. Benci, bebenci-bencinya. Mungkin, hingga saat ini.
Saking bencinya, Alana sampai melakukan sebuah perbuatan konyol kepada laki-laki itu, yang akhirnya membuahkan janin di perutnya. Alana melahirkan janin itu tujuh tahun lalu. Ya, janin itu Angga.
Kelakuan Alana memang separah itu dulu. Mau bagaimana lagi? Dia sudah terlanjur dicap biang masalah, baik oleh teman-temannya, maupun oleh keluarganya sendiri.
Sejak kecil ia selalu ditatap dengan tatapan merendahkan, baik oleh keluarganya, maupun oleh orang-orang di lingkungan rumah. Awalnya Alana tidak menyadari, tapi semakin bertambah umur, ia semakin paham situasi. Sering sekali ia tidak dilibatkan jika ada acara keluarga. Alana merasa dianggap sebagai beban, atau sesuatu yang memalukan.
Meski akhirnya setelah dewasa ia tahu alasan dari semua itu, tapi Alana benar-benar tidak mengerti. Mengapa mereka, terutama pihak keluarga ibunya, membiarkan dirinya dilahirkan? Kenapa tidak digugurkan saja sejak masih dalam kandungan?
Kenapa dia dilahirkan jika akhirnya akan diperlakukan seperti kotoran!
Alana menghela nafas. Bukan saatnya menyesali apa yang telah terjadi di masa lalu. Saat ini, dia harus berpikir waras, demi Angga, putera tercintanya. Ia telah banyak membaca dan belajar. Membesarkan seorang anak yang lahir di luar nikah di negeri ini bukan perkara mudah.
Dalam agama yang dianutnya, anak di luar nikah tidak bisa diakui sebagai anak dari ayah biologisnya, tidak ada hubungan nasab, wali, tidak bisa menjadi ahli waris, bahkan sang ayah tidak diwajibkan memberi nafkah.
Alana merasakan getir yang begitu hebat karena mengingat hal tersebut. Ia juga merasakan sesal yang amat sangat. Semua ini terjadi karena kesalahannya sendiri. Betapa malang nasib Angga karena harus dilahirkan oleh ibu seperti dirinya.
Meski kini Salman datang dan menyatakan bahwa dia bersedia membiayai hidup Angga, tetap saja, kemungkinan, kehadiran sang anak akan menjadi masalah di sisi laki-laki itu. Hidup Salman akan berubah seratus delapan puluh derajat setelah semua terkuak.
Ibu kandung Salman adalah seorang penceramah agama yang cukup terkenal. Beberapa tahun belakangan, ia rutin mengisi sebuah program pengajian selepas Subuh yang disiarkan oleh sebuah stasiun televisi. Entah bagaimana tanggapan public terhadap sang ustazdah jika keberadaan Angga diketahui masyarakat luas. Keluarga mereka adalah keluarga terpandang dan keluarga baik-baik.
Sementara dirinya, dipenuhi kekurangan dan kesalahan.
Dan terlebih lagi, Alana tidak ingin puteranya tersakiti.
Dan bagaimana jika ternyata Salman sudah menikah? Ah, ya! Alana belum bertanya tentang hal itu pada Salman.
*
"Kau sudah menikah?"
Salman mendengar Alana bertanya. Dia menoleh pada wanita itu. "Untuk apa bertanya hal itu?" tanyanya dengan suara datar.
"Bukan apa-apa," jawab Alana, "aku hanya tidak ingin anakku tersakiti."
Salman menghela nafas, lalu berkata, "Aku sudah menikah, lima tahun lalu."
Kali ini, giliran Alana yang menghela nafas. Lantas, ia menunduk dan meraup wajahnya. Ini benar-benar akan jadi masalah. "Untuk sementara, jangan beri tahu keluargamu soal Angga," ucap Alana. "Aku tidak mau kehadirannya dalam hidupmu menimbulkan masalah."
Salman tertawa. "Kau mengkhawatirkan keluargaku?" tanyanya. "Kupikir, kau tidak pernah mempedulikan orang lain." Nada suara laki-laki itu terdengar begitu sinis.
Alana mendelik tak suka. "Aku memang tak peduli padamu atau pada keluargamu. Kata siapa aku khawatir soal kalian?! Aku hanya mengkhawatirkan anakku!" sergahnya.
"Angga akan baik-baik saja," ucap Salman. "Aku tidak akan membiarkan siapa pun menyakitinya."
Tiba-tiba saja, Alana dilanda rasa takut. "Jangan pernah berpikir untuk merebutnya dariku!" Ia berseru. "Kalau kau melakukannya, aku akan membunuhmu."
Salman mengernyit. Ia tak mengerti kenapa wanita di hadapannya menjadi ketakutan.
"Atau, aku akan membunuh diriku sendiri. Dan itu karena kesalahanmu!"
"Kau ini kenapa?" tanya Salman.
"Aku takut kau merebut anakku!" Sekuat tenaga Alana menahan rasa bencinya.
Salman menggaruk rambutnya yang tiba-tiba terasa gatal. "Jangan mengancamku!" katanya tak suka. "Aku tidak pernah tepikir untuk melakukan hal sekejam itu padamu!"
"Oh ... syukurlah." Alana merasa lega. Tapi, kemudian ekspresi wajahnya kembali kaku. "Tapi, itu juga peringatan bagimu!"
Salman merasa ngeri dengan nada bicara ibu dari puteranya itu. Sejujurnya, dia mengerti semua yang dikhawatirkan Alana. Terlebih, soal kemungkinan Angga tersakiti karena keberadaannya yang tiba-tiba dalam kehidupan Salman. Banyak hal pasti akan berubah. ibunya, ayahnya, dan yang paling penting adalah ... istrinya, Hamidah. Entah bagaimana respon perempuan itu jika tahu suaminya memiliki anak dengan wanita lain.
Rasanya, tidak mungkin bagi Salman untuk terus menyembunyikan perihal Angga dari keluarga. Surya, adik ipar Salman, telah mengetahui tentang anak itu dan juga siapa ibunya. Sampai detik ini, ia belum memberikan penjelasan apapun pada Surya. Dan, setelah Salman menjelaskan nanti, ada kemungkinan Hamidah akan langsung tahu. Setelah wanita itu tahu, ada kemungkinan orang tuanya juga akan segera tahu.
Salman mengacak rambutnya, merasa frustasi dengan situasi yang ia hadapi saat ini, yang sebelumnya, tidak terpikirkan sama sekali. Hari pertama bertemu Angga, ia hanya ingin memeluk dan mengatakan bahwa ia adalah ayahnya pada lelaki kecil itu, tak pernah berpikir sejauh sekarang. Ternyata, Alana bisa berpikir lebih jauh dibanding dirinya.
"Sudah malam. Sebaiknya kamu pulang, aku harus istirahat," ucap Alana. Salman menyodorkan sebuah amplop berwarna putih. "Ambil ini!"
"Ini apa?"
"Isinya uang. Ini untuk membeli perlengkapan sekolah Angga."
Alana memandang jengah amplop itu beberapa saat, lalu tatapannya beralih pada wajah Salman. "Kau tidak perlu memberikan apapun! Memasukkan dia ke sekolah itu secara gratis saja sudah cukup. Soal perlengkapan sekolah, biar aku yang membelinya."
"Memangnya kau punya uang?"
Alana mendengus kencang. Ia merasa diremehkan. "Kau pikir, hanya kau dan keluargamu yang punya uang? Buat apa aku bekerja kalau tidak menghasilkan uang?"
"Tapi waktunya sudah dekat. Memangnya uangmu cukup? Untuk membeli buku-buku, tas, alat tulis, seragam ...."
Alana menelan saliva. 'Benar juga,' pikirnya. Pasti butuh banyak uang. Sedangkan jadwal ia akan menerima gaji masih lama. Uang yang ada di dompetnya saat ini kemungkinan hanya cukup untuk makan sehari-hari.
"Begini saja," ucap Salman. "Karena kau tidak mau menerima uangku, biarkan aku yang membelikannya. Izinkan aku membawa Angga untuk beberapa jam besok. Aku akan mengajaknya membeli semua yang dia butuhkan."
Alana menghela nafas. Entah semua ini benar atau tidak. Ia tidak sampai hati membuat puteranya kecewa. Tapi, semua kekhawatirannya masih ada, bahkan sekarang bertambah banyak.
"Bisa, kan?" tanya Salman.
"Ya," jawab Alana. "Jemput dia jam delapan. Bawa pulang jam sebelas siang!" serunya seraya berlalu. ia meninggalkan Salman begitu saja.

KAMU SEDANG MEMBACA
Bahagia Milik Kita
RomanceAlana adalah orang tua tunggal. Dia ibu dari seorang anak bernama Angga. Mereka hidup bahagia meski kerap disandra kesulitan dan ujian hidup.