Bab 22

4.5K 368 15
                                        

Akhirnya, dia pulang juga. Batin Salman mendesah lega. Saat dia bangun beberapa jam lalu, Hamidah tidak ada di sisinya. Wanita itu bahkan tidak ada rumah. Entah ke mana dan entah melakukan apa.

Salman menyambut kedatangan istrinya dengan senyum dan tatapan penuh kekhawatiran. "Kamu dari mana?"

Hamidah menatap sang suami tanpa mengatakan apapun. Sejujurnya, dia tidak tahu harus bagaimana harus bersikap di depan laki-laki itu setelah semua yang terjadi beberapa hari ini.

"Kamu dari mana, Midah?" Salman bertanya lagi. "Kenapa teleponku tidak diangkat?"

"Aku dari suatu tempat ...." Hamidah menjawab dengan suara pelan. Ia melemparkan tatapan mata ke sembarang arah. Tak sanggup menatap Salman secara langsung berlama-lama.

"Dari mana? Dari rumah Yulia?" Salman meraih tangan istrinya. "Atau dari rumah Ayah Bunda?" Laki-laki itu membawa sang istri untuk duduk di sofa ruang tamu mereka. "Maaf karena kemarin aku mengabaikanmu. Sebenarnya, ada yang ingin kubicarakan, tapi aku benar-benar sakit."

Hamidah menghela nafas, teringat akan kondisi sang suami yang sebelumnya lemah tak berdaya. Saat ini pun sebenarnya masih terlihat pucat, tapi sepertinya sudah lebih baik. "Tidak apa-apa, Mas. Aku mengerti kok." Hamidah tersenyum.

"Kenapa malam kemarin kamu tidak pulang?" tanya Salman, "apa terjadi sesuatu? Di mana kamu menginap? Surya bilang, kamu tidak menginap di rumah Ayah Bunda, kamu ke mana sebenarnya?"

Hamidah terperangah mendengar rentetan pertanyaan tersebut. Terlebih lagi saat ia menatap wajah Salman yang dipenuhi raut kecemasan. "Kamu menngkhawatirkanku?"

Laki-laki di hadapan Hamidah itu mengangguk. "Apa terjadi sesuatu?"

"Kamu mengkhawatirkan aku?!"

Dua alis Salman bertaut. "Tentu saja. Kamu pergi tanpa mengatakan apapun, malam sebelumnya kamu tidak pulang, tidak menjawab telepon, tidak membalas pesan. Menurutmu aku tidak khawatir?"

Seketika bunga-bunga bermekaran di dalam Hamidah. Ternyata Salman mengkhawatirkan keadaannya beberapa hari ini. Ia sungguh tidak mengira. Beberapa bulir bening menetes dari dua netra wanita itu seiring perasaannya yang mangharu biru.

"Ada apa, Midah? Kenapa tidak kunjung menjawab pertanyaanku? Kenapa sekarang kamu menangis." Salam menunduk seraya menutup matanya. Laki-laki itu menghela nafas panjang, lalu menatap Hamidah kembali. "Sikapmu yang seperti ini membuatku merasa menjadi suami yang buruk."

Hamidah mengernyit. "Apa maksudnya itu?" tanyanya heran.

"Kamu istriku, Midah. Kamu menjadi tanggung jawabku semenjak kita menikah. Jangan pergi tanpa izin! Jangan mengabaikan telepon dan pesan-pesanku. Suamimu ini, berhak tahu ke mana kamu pergi dan apa yang sedang kamu lakukan."

Dalam sekejap mata bunga-bunga di taman hati Hamidah layu, satu per satu. Ia pikir sebelumnya, kekhawatiran Salman berasal dari perasaan rindu, sayang atau bahkan cinta. Ternyata hanya karena rasa tanggung jawab semata. Wanita itu mendecih seraya tertawa sinis. Bisa-bisanya ia tertipu.

'Menurutku kau sangat menyedihkan, Nyonya. Tidakkah kau menyadarinya?' Hamidah terngiang kata-kata Alana yang diucapkan padanya beberapa jam lalu. Sekarang ia tahu, mengapa wanita itu mengatakan hal tersebut. Ternyata, dirinya memang wanita yang sangat menyedihkan.

"Apa kau juga berpikir aku wanita yang sangat menyedihkan?" tanya Hamidah tiba-tiba. Salman yang sejak tadi menunggunya bersuara menoleh seketika.

"Apa maksudmu?"

"Seseorang mengatakan bahwa aku sangat menyedihkan ...."

"Siapa?"

"Wanita itu?"

Bahagia Milik KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang