Bab 45

649 63 3
                                        

Tersesat.

Itulah yang pertama kali terpikir oleh Alana saat menyadari keadaan di sekeliling. Bahwa dirinya telah tersesat, di tengah sebuah hutan lebat.

Hutan ini gelap, pepohonannya rimbun, dengan batang-batang menjulang tinggi hingga menghalangi sinar matahari. Alana menengadah, ia yakin, hari masih siang. Perasaan bahwa ia harus bergegas keluar dari hutan ini telah terkumpul hingga begitu besar, namun, tak ada setapak pun tanah yang dapat dipijak tanpa membuahkan rasa sakit di kakinya karena tertusuk ranting pohon. Baru kali ini wanita itu melihat hutan yang tanahnya dipenuhi ranting pohon serupa duri tajam.

Entah sudah berapa lama Alana berada di tempat menakutkan ini. Entah satu jam, satu hari, atau mungkin satu tahun. Rasanya sudah begitu lama, mungkin, bahkan telah selama hidupnya di dunia.

Terjebak.

Setelah tersesat, Alana sadar bahwa ia sejatinya telah terjebak. Tak ada jalan keluar, tak ada tempat berlari untuk menyelamatkan diri. Ia tak bisa melihat kemungkinan, bahkan jika hanya sekedar keberuntungan. Alana tertawa, siapa pula yang akan memikirkan keberuntungan di tempat sesuram ini. Terlebih dirinya sendiri. Keberuntungan tak pernah menjadi kawan baiknya.

Ah, ia kini merasa begitu frustasi. Ini seperti sebuah mimpi, namun semua benda yang ia sentuh meninggalkan rasa sakit yang begitu nyata dan ragawi. Alana bisa dengan jelas merasakan sakit di sekujur tubuhnya.

Jika boleh, Alana ingin mengakhiri semua kefrustasian ini. Bisakah?

Tidak, sepertinya keinginan itu bahkan terlalu mewah. Alana hanya bisa diam dan menerima semuanya. Ya, dia harus menerima semuanya, dia memang pantas.

Alana pasrah. Biarkan saja sakit, gelap, dan suram mengendalikan hidupnya. Terserah mereka mau dibawa ke mana. Ke puncak yang tinggi atau ke jurang yang dalam, sama saja bagi Alana. Tak ada yang bermakna. Memang begitulah kisah hidupnya sejak pada awalnya.


.


.


.


Dalam beberapa kelebat, tiba-tiba Alana merasa dirinya tidak lagi berada di hutan lebat, tetapi di sebuah ruangan, namun sama gelapnya. Tidak ada pintu, tidak ada jendela, tidak ada sedikitpun celah bagi cahaya.

Alana sadar, kamar itu justru lebih gelap dari hutan lebat, bahkan lebih menyeramkan. 

Bukan, bukan karena ia sendiri saja di ruangan ini, justru, karena Alana merasa bahwa ia tidaklah sendiri. Ada sesosok makhluk di belakang dirinya. Makhluk menyeramkan itu menatap Alana dengan tatapan yang tajam. Itu keyakinannya. Karena merasa takut, Alana bahkan tak berani menoleh.

Lalu, tiba-tiba makhluk itu tertawa terbahak-bahak. Entah apa yang ia tertawakan. Namun, berselang beberapa menit kemudian, suara tangis terdengar. Ya, makhluk itu menangis.

Tangisnya terdengar amat pilu, menyayat hati Alana, yang tanpa sadar meneteskan air mata.

Semakin lama, tangis Alana semakin kencang. Semula hanya isak, seketika menjadi raungan. Alana menangis meraung-raung di ruangan itu. Entah karena apa. Ia bahkan tak sadar ketika makhluk menyeramkan perlahan menghilang ...

Atau ... mungkin sejak awal makhluk itu memang tak pernah ada. 

Dia sendiri lah makhluk menyeramkan itu sebenarnya.

***

"Mbak yakin?" Seseorang bertanya.

Hanum menoleh pada orang tersebut, lantas mengangguk penuh kepastian. Lila, petugas evakuasi yang mendampingi Hanum menjemput Alana setelah ditemukan Pras dan beberapa rekannya yang lain baru saja mengingatkan wanita itu tentang prosedur resmi yang ditetapkan sejak Rumah Bahagia berdiri, di mana setiap pasien yang baru saja ditemukan, bagaimana pun keadaannya, harus langsung dibawa ke rumah sakit.

Bahagia Milik KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang