Bab 14

5.3K 412 4
                                    

"Hei!" sapa Salman, "siapa nama kamu?"

Meski telah dilarang Alana, laki-laki itu tetap menemui Angga. Diam-diam, dia menyelinap masuk ke dalam area halaman belakang Warung Bakso Pak Marto. Di sana, dia melihat Angga sedang bermain seorang diri.

"Nama saya Angga, Om."

Hampir saja Salman menangis. Namun, sekuat tenaga ia menahan dirinya. Ia ingat apa yang dikatakan Alana sehari sebelumnya, bahwa anak yang di hadapannya kini bukanlah anaknya. Tapi, entah kenapa, Salman begitu ingin memeluk lelaki kecil itu saat ini.

"Om sedih ya?" tanya Angga.

"Hah?!" Seketika Salman merubah ekspresi wajahnya. "Enggak kok. Hehe ...."

"Kok Om ada di sini? Mau beli bakso?"

"Enggak. Mau ketemu kamu."

Angga menatap heran. "Mau ngapain?" tanyanya seraya memiringkan kepala. Matanya menyipit karena sinar matahari membuat penglihatannya silau.

Salman menghela nafas. Lalu berjongkok, menyejajarkan dirinya dengan Angga. "Kamu sudah sekolah?"

Pertanyaan Salman itu sontak membuat Angga terlonjak gembira. "Belum, Om. Tapi, Ibu bilang, aku bisa sekolah tahun ini."

Perasaan iba mendera batin Salman. Ia teringat kembali tujuan Alana mengunjungi kantornya awal bulan lalu. Wanita itu hendak meminta bantuan biaya Pendidikan untuk anaknya. Pasti untuk Angga.

"Mau sekolah di mana?" tanya Salman.

Angga menggeleng pelan. Ekspresi wajahnya berubah sendu.

"Kok sedih?"

"Ibu belum punya uang untuk beli seragam."

Salman memalingkan wajah. Lalu menghela nafas demi mengusir sesak yang menghimpit di dadanya.

"Mau sekolah di tempat Om, gak?"

"Di mana itu?"

"Di pesantren."

Salman mengeluarkan telepon selularnya. Lalu membuka aplikasi media sosial. Dia menunjukkan beberapa postingan media sosial sebuah sekolah berkonsep asrama. Sekolah tersebut dikepalai oleh ibu kandungnya sendiri.

Dengan antusias, Angga memperhatikan gambar-gambar yang ditunjukkan Salman. Saat melihat foto yang di dalamnya terdapat gambar puluhan anak-anak seusianya sedang berbaris mengenakan pakaian seragam, lelaki kecil itu mengangankan dirinya sendiri ada di dalam kumpulan anak-anak tersebut.

"Aku boleh sekolah di sini, Om?" tanya Angga. Matanya berbinar terang.

"Iya. Kalau kamu mau."

"Bayarnya berapa, Om?" Ekspresi wajah Angga berubah sendu. Dia teringat kondisi keuangan ibunya.

Salman mengelus punggung kecil anak itu. "Buat Angga, gratis," kata Salman, "gak usah bayar."

***

"Ibu ...!"

Alana tengah membereskan mangkuk dan piring yang berserakan di meja saji saat Angga memanggilnya sambil berlari tergopoh-gopoh.

"Ada apa, Nak?" tanya Alana.

"Aku mau sekolah di sini." Angga menyodorkan satu lembar brosur. "Om tadi bilang sekolahnya gratis. Boleh ya, Bu?"

Seraya menautkan dua alisnya, Alana membaca brosur tersebut. Kertas yang biasanya dijadikan sebagai alat promosi itu berisi profil sebuah sekolah dengan sistem asrama yang berlokasi tidak jauh dari kabupaten Bekasi, tempat ia menetap kini.

"Lana! Cepat dibersihkan meja itu!"

Teriakan bu Warti mengalihkan Alana dari brosur yang sedang dibacanya. Bergegas ibu satu anak itu mengangkat nampan, lalu membawanya ke tempat penyimpanan sementara mangkuk-mangkuk kotor. Sejurus kemudian, ia kembali ke meja tadi. Alana membersihkan meja itu dengan lap dan cairan pembersih.

Bahagia Milik KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang