Ruangan itu terasa amat sunyi. Lampu yang baru saja dimatikan membawa gelap datang dan membuat sunyi semakin meraja lela menyergap Alana. Membawa jiwanya semakin terjerat ketidakberdayaan. Alana memeluk Angga yang tidur dalam pelukannya. Mereka rebah hanya beralas sebuah selimut lapuk.
"Nanti, kalau aku sekolah pakai seragam juga kan, Bu?" Alana teringat pertanyaan Angga beberapa jam yang lalu. "Nanti beli tasnya yang ada gambar robotnya ya, Bu." Lelaki kecil itu memang telah lama menginginkan tas berhias karakter khas superhero dari negeri paman Sam. Angga pernah melihat seorang anak menggunakan tas serupa. Lampu-lampu kecil nampak dari tas tersebut.
Ah, begini rasanya ternyata jadi orang tua. Kamu ingin memenuhi apapun keinginan buah hatimu. Namun, ketika kondisi dan situasi sulit menyapa, membuatmu terperosok ke dalam penderitaan atas ketidakberdayaan.
Rasa kecewa membelit jiwa, kecewa pada diri sendiri. Alana merasa menjadi orang tua yang paling buruk. Mengapa dirinya tidak sekuat orang lain? Mengapa ia tidak seberdaya orang lain? Mengapa ia tidak berusaha sekuat tenaga?
"Mungkin ... kalau ada ayah, kita bisa beli mainan robot-robotan itu ya, Bu?"
Percakapan itu terjadi saat mereka tengah berjalan melewati sebuah toko mainan. Angga tertarik pada sebuah robot yang bisa mengeluarkan suara dan bergerak sendiri.
Tangis Alana kini semakin deras. Angga memang tidak secara langsung meminta pada Alana, ia anak yang tahu diri, ia tahu keadaan keuangan ibunya. Tapi, tak dapat dimungkiri, kata 'ayah' yang keluar dari mulut kecilnya, sukses membuat Alana serasa ditusuk belati. Ini sakit sekali.
***
"Jadi gimana ceritanya sih?" Hamidah bertanya pada Surya, adiknya.
"Ya ... sebenarnya, tabletnya gak hilang, apalagi dicuri, tapi jatuh."
"Kok bisa?"
"Ya, bisa. Buktinya, kejadiannya begitu."
"Yang jatuhin siapa?" Hamidah begitu penasaran.
"Mungkin ... bang Salman sendiri."
"Kasihan ya, ibu-ibu itu."
Surya mengangguk. "Iya. Kasihan banget. Dia sampai dipecat dari mini market, terus diusir dari tempat tinggalnya."
Hamidah tercengang. "Masa sampai segitunya?"
"Iya, emang sampai segitunya, Mbak."
"Terus sekarang gimana?"
"Alhamdulillah, udah punya kerjaan baru."
"Alhamdulillah ...."
"Tadi siang aku datang ke tempat kerjanya yang baru. Mau minta maaf."
"Terus ... dia mau maafin?"
"Dia mau maafin. Katanya gak apa-apa. Gak perlu ada permintaan maaf secara formal juga katanya. Tapi ...."
"Tapi kenapa?" tanya Hamidah.
"Waktu aku bilang mau bawa teman-teman kantor untuk ketemu dia, untuk minta maaf secara langsung. Dia bilang, dia gak mau ketemu sama bang Salman."
"Kenapa?"
"Gak tahu. Dia gak kasih tahu alasannya. Kayaknya, dia benci banget sama bang Salman."
Hamidah manggut-manggut mendengar penjelasan Surya. Dia tak menyadari, sejak awal ia bicara dengan sang adik, orang yang mereka bicarakan ikut mendengarkan dari balik pintu. Dua orang kakak beradik itu mengobrol di beranda rumah pasangan Salman dan Hamidah.
Tak berapa lama, Surya pamit pulang, Hamidah masuk ke dalam rumah setelah kepergian adiknya. Wanita itu gelagapan saat mendapati Salman sedang berdiri di balik pintu. "Eh ... Mas?! Kok di sini?" tanya Hamidah.
Salman tak menjawab. Ia berpaling dengan wajah dipenuhi gurat kesal.
"Maaf, Mas. Tadi Surya---"
"Sebaiknya, kamu berhenti memata-mataiku melalui adikmu. Lama-lama aku bisa pecat dia nanti ...."
"Jangan dong, Mas! Dia kan cuma cerita doang."
Salman mendelik. "Cerita itu bukan urusan kamu. Itu urusan saya dan para pegawai di kantor kami."
Hamidah menghela nafas demi meredakan kekesalannya akan sikap Salman. Selalu saja bersikap seperti itu. Kadang-kadang, ia merasa sang suami memperlakukannya sebagai orang asing. Bagaimana bisa dikatakan bahwa peristiwa hilangnya tablet itu bukan urusannya? Sedangkan Salman adalah suaminya, dan Surya adalah adiknya. Lalu, tempat kedua laki-laki bekerja itu adalah Lembaga milik keluarga mertuanya.
Yayasan Beasiswa Supersemar adalah salah satu Lembaga non profit yang didirikan keluarga Salman. Orang tuanya memiliki sebuah perusahaan yang cukup besar, beroperasi di bidang konstruksi.
Sebagaimana perusahaan besar pada umumnya. Perusahaan tersebut juga memiliki tanggung jawab sosial kepada masyarakat atau lingkungan tempatnya berdiri.
Yayasan Beasiswa Supersemar menjadi salah satu sarananya, selain itu ada sekolah asrama, panti asuhan, baitul Maal, serta beberapa masjid dan musholla.
"Aku mau tidur duluan ya, Mas," ujar Hamidah. Meski kesal dengan sikap suaminya, ia tak ingin memicu keributan. Wanita itu lebih memilih mengabaikan penyebab kekesalannya.
Salman diam saja. Tak berselera merespon kata-kata Hamidah. Percakapan sang istri dan adiknya yang seolah-olah menyalahkan dirinya kembali terngiang. Dia juga merasa kesal, bukan pada orang lain. Tapi pada dirinya sendiri. Bagaimana bisa ia begitu ceroboh lalu merugikan orang lain?
Mendengar bahwa wanita korban kesalahanpahamannya tidak sudi menemuinya, membuat perasaan bersalah semakin bergelayut di benak Salman. Entah bagaimana ia harus memperbaiki semuanya. Tak mungkin jika harus dianggap angin lalu saja, dia masih punya hati nurani.
Keesokan harinya, Surya dan beberapa rekannya datang ke Warung Bakso Pak Warto. Mereka ingin menyantap bakso sekaligus menemui Alana. Salman tidak diajak serta. Namun, laki-laki itu mengikuti dari belakang secara diam-diam.
Salman tak peduli meski nanti kedatangannya mengalami penolakan. 'Lagi pula, memangnya ada yang bisa menolak?' pikirnya.
Dan ternyata, ia salah. Salman benar-benar bisa ditolak.
Alana menolak menemui Surya dan kawan-kawannya karena kehadiran Salman di antara mereka. Wanita itu tak kunjung menampakkan diri. Konon kabarnya, hari itu ia mendapat tugas di pantry, menyiapkan keperluan memasak, serta mencuci mangkuk dan gelas yang telah digunakan pelanggan.
Salman terheran-heran.
'Bagaimana bisa wanita itu benar-benar menolak bertemu denganku? Apa dia begitu membenciku?' Begitu benaknya bertanya-tanya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Bahagia Milik Kita
RomanceAlana adalah orang tua tunggal. Dia ibu dari seorang anak bernama Angga. Mereka hidup bahagia meski kerap disandra kesulitan dan ujian hidup.