Hamidah tidak bisa menolong dirinya sendiri untuk berhenti. Ia nekat menemui Alana di kediamannya meski telah malam hari. Surya mengatakan, wanita itu tinggal di mess yang ada di belakang kedai bakso. Dan benar, saat Hamidah berjalan ke arah belakang kedai, ada Alana di sana, sedang berjalan masuk ke dalam area mess.
"Alana!" Hamidah memanggil wanita itu.
Yang dipanggil menoleh dan sontak menampakkan wajah terkejutnya.
"Mau apa anda di sini?"
"Aku ingin menemuimu." Hamidah bicara sambil berjalan mendekat pada Alana. "Ini soal yang tadi pagi. Aku---"
"Pergi dari sini!"
Hamidah terdiam. Dua netranya menatap lekat wanita itu. Di wajahnya, terpampang jelas keengganan akan kehadiran Hamidah. "Aku hanya mau meminta maaf," ucapnya. "Pagi tadi, aku tidak mengira teman-temanku akan melakukan hal seperti itu padamu. Awalnya aku datang hanya untuk melihatmu dari jauh, setelah itu pergi. Hanya itu saja. Tapi ternyata teman-temanku ...." Hamidah gelagapan. Dia tidak tahu bagaimana harus menyusun alasan-alasan
Tawa sinis keluar dari bibir Alana setelah mendengar kata-kata Hamidah. Baginya, itu sangat tidak masuk akal. "Kau mau meminta maaf? Kenapa?"
"Karena aku sangat menyesal. Apa yang mereka lakukan terhadapmu itu salah."
Alana kembali tertawa, suaranya semakin keras. "Menurutmu apa yang mereka lakukan salah?" tanyanya sinis. "Tapi kau tidak melakukan apapun untuk menghentikan mereka. Kau diam saja. Jujurlah, Nyonya! Kau menikmatinya. Iya kan?"
"Tidak!" Hamidah menggeleng keras. "Aku tidak seperti itu, Alana."
"Ah, sudahlah. Lebih baik kau tinggalkan tempat ini segera!" ucap Alana. Ia kembali berjalan menuju kamarnya. Namun, namanya dipanggil lagi.
"Bisa kita bicara?" tanya Hamidah. "Sebentar saja."
Dua bola Alana memutar. Ia menghentikan langkah. "Mau membicarakan apa?" tanyanya seraya menatap acuh tak acuh.
"Tolong! Ceritakan semuanya ...." Hamidah memohon.
"Cerita?" Dua Alis Alana keras bertaut. "Cerita soal apa?"
"Semuanya! Semua tentangmu dan Salman, dan juga Angga."
"Aku tidak punya kewajiban menceritakan apapun padamu!" Alana menatap penuh keheranan.
"Tapi dia suamiku. Bukankah sudah seharusnya kau memberiku penjelasan atas situasi kita saat ini?"
"Kenapa kau tidak meminta penjelasan padanya saja? Kenapa harus datang padaku?"
Hamidah menunduk, lalu berkata, "Salman sedang sakit. Aku tidak bisa menanyainya untuk saat ini."
"Suamimu sedang sakit dan kau malah datang ke sini?!"
Pertanyaan Alana itu terdengar sinis sekali, membuat perasaan bersalah yang telah berjam-jam ini menyelimuti batin Hamidah kembali menyeruak.
Setelah puas menangis di rumah Yulia, akhirnya ia kembali ke rumahnya bersama Salman. Hamidah mendapati laki-laki itu tengah terbaring lemah di tempat tidur. Badannya demam, mulutnya kering, batuk-batuk kecil terdengar di sela rintihan pelan. Sepertinya, Salman sudah sakit sejak semalam sebelumnya.
Hamidah merawat sang suami setelah kepulangannya. Salman hanya bangun untuk salat dan makan, setelah itu tidur kembali. Seharusnya, Hamidah tetap menemaninya hingga saat ini. Tapi, ia sudah tidak sabar untuk menemui Alana segera. Hamidah merasa bahwa ia layak mendapat penjelasan dari wanita itu. Meski dengan digelayuti rasa bersalah karena lagi-lagi harus meninggalkan suaminya yang masih terbaring sakit, Hamidah tetap menemui Alana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bahagia Milik Kita
RomanceAlana adalah orang tua tunggal. Dia ibu dari seorang anak bernama Angga. Mereka hidup bahagia meski kerap disandra kesulitan dan ujian hidup.