Bab 31

1.8K 165 9
                                        

Pagi-pagi sekali Hamidah sudah berada di warung bakso itu. Ia hendak menemui Alana yang mendengus sebal saat melihat kehadirannya.

"Warung ini belum buka." Alana terpaksa bicara pada Hamidah, setelah tak satu pun temannya sesama karyawan bersedia menemui wanita itu. Mereka mengira Hamidah adalah teman baik Alana.

"Aku tahu, teruskan saja pekerjaanmu. Setelah itu bicara denganku di sini."

Hamidah membiarkan saja saat Alana meninggalkannya untuk kembali bekerja, berjalan ke sana ke mari mempersiapkan warung bakso yang sudah hampir waktunya buka. Ia menatap iba saat Alana muncul dengan berbagai macam perkakas di tangannya.

Sebenarnya, dua malam lalu Hamidah juga datang ke warung bakso ini. Tepatnya, ke bagian belakang warung yang terdapat mess karyawan. Sayangnya, Alana sedang menemui seseorang.

Saat Hamidah datang, ia melihat Alana bicara sambil sesekali mengusap pipi dengan orang itu. Terdengar Isak tangis dari bibir keduanya.

Hamidah mengurungkan niatnya untuk menemui Alana setelah mendengar bagian akhir pembicaraan mereka. Terutama saat orang yang ditemui Alana bertanya tentang siapa ayah Angga dan ia terdengar sangat marah. Hamidah juga mendengar pembelaan Alana bagi Salman, suaminya. Jujur saja, ia dipenuhi rasa cemburu saat meninggalkan tempat itu.

Bunyi notifikasi mengalihkan perhatian Hamidah dari ingatan akan malam itu. Ia mengusap layar handphone-nya. Salman mengirimi pesan sejak tadi. Ia sengaja tak membalas pesan laki-laki itu. Hamidah sedang kesal sekali.

Apa pasal?

Jadi begini, Angga yang telah beberapa bulan tinggal di pesantren mengeluh bahwa ia mengalami masalah sulit tidur, dan itu juga menjadi perhatian para tenaga pengajar karena sangat mempengaruhi proses belajar-mengajar mereka. Salman versi mini itu juga telah beberapa kali terserang demam, diyakini bahwa itu ada kaitannya dengan masalah tersebut.

Angga meminta dibawakan bantal yang biasa ia gunakan saat masih tinggal bersama Alana. Dia meminta Salman untuk membawakannya sesegera mungkin. Sepertinya bantal tersebut telah menjadi benda yang sangat penting baginya.

Salman mengajak Hamidah untuk menemui Alana bersama-sama demi mengambil bantal tersebut. Ya, rencananya memang mereka hendak pergi bersama, tapi Hamidah yang sedang kesal memilih berangkat lebih dulu.

Hamidah kesal karena Salman marah saat ia meminta laki-laki itu untuk mengurangi intensitas menemui Angga di pesantren. Ia takut hal tersebut mengundang kecurigaan para pengajar, terutama ibu kandung Salman sendiri yang juga kepala pesantren. Bagaimana pun, mereka tahunya Angga hanyalah anak asuh.

"Kenapa Kau melarang aku menemui anakku sendiri?!" ucap Salman saat itu. Terdengar sinis sekali.

Hamidah kesal karena maksud baiknya dianggap salah. Salman justru merasa Hamidah melarangnya menemui Angga. Padahal tidak seperti itu. Wanita itu telah menyodorkan berbagai macam alasan untuk memperjelas maksudnya, tapi sang suami yang sudah kadung marah tidak terima. Akhirnya, untuk melampiaskan kekesalan, Hamidah pergi dari rumah pagi-pagi sekali, pergi tanpa izin, hanya meninggalkan kertas catatan di atas meja makan yang juga telah tersedia disampingnya hidangan untuk Salman sarapan.

[Sudah di warung bakso? Sudah dapat bantalnya? Mau dijemput atau tidak?]

Sekali lagi, Salman mengirim pesan. Hamidah tidak membalas, tapi menjawab dalam hati.

'Sudah bertemu Alana, bantalnya sedang diambil, aku bisa pulang sendiri.'

Alana memang sudah tahu maksud kedatangan Hamidah, di sela-sela kerjanya, ia menyempatkan diri untuk menemui Hamidah kembali, dan menanyakan apa keperluannya. Wanita itu kini terlihat berjalan mendekat ke meja di mana Hamidah berada, duduk sambil menyeruput teh manis hangat. Ia membawa sebuah tas berukuran cukup besar.

"Tolong berikan ini pada Angga," ucap Alana. Wajahnya terlihat gusar.

Saat tahu maksud kedatangan Hamidah dan cerita yang dibawanya, wanita berwajah oval itu didera perasaan bersalah, amat sangat. Ia lupa bahwa puteranya hanya bisa tidur nyenyak jika menggunakan bantal kesayangannya. Ia juga amat mencemaskan keadaan putera semata wayang itu.

"Dia akan baik-baik saja, tenanglah...." Hamidah menenangkan wanita yang masih berdiri di hadapannya.

"Aku harap begitu."

"Mas Salman menengoknya hampir setiap hari sepulang bekerja." Perasaan kesal Hamidah kembali datang saat mendengar kata-kata itu, yang diucapkan oleh mulutnya sendiri.

"Ada lagi yang mau Kau sampaikan?" tanya Alana.

Hamidah mengangguk antusias. "Ada!"

"Apa?" Alana melihat sekeliling, memastikan meja dan kursi telah berbaris tertib dan dalam keadaan bersih sebelum digunakan pelanggan yang entah kapan akan datang.

"Aku bertemu teman SMA-mu beberapa hari lalu," jawab Hamidah.

Alana mengernyit. "Siapa?"

"Hanum, kau ingat?"

"Hanum?" Ah, Alana ingat seorang gadis bernama Hanum, mulutnya selalu terlihat komat-kamit jika sedang diam. Kabarnya, gadis kikuk dan pemalu itu seorang penghafal Qur'an.

"Kau ingat, kan?!"

Dua bahu Alana naik secara bersamaan. "Apa hubungannya denganku?"

"Tentu ada. Kami membicarakanmu?"

"Kalian membicarakanku?" Alana terheran.

"Iya, Kau kan pernah bilang, Kau tidak punya teman, dan tidak mau berteman dengan siapa pun."

"Lalu, apa yang Hanum katakan?"

"Dia bilang, Kau punya beberapa teman."

Alana menghela nafas. "Lalu apalagi yang dia katakan?"

"Kau bohong, kan? Kau bisa memiliki teman yang lain. Tapi kenapa tidak mau menjadi temanku?"

Kerutan di dahi Alana semakin mengeras. "Kau bersusah payah menemui Hanum hanya untuk menanyakan hal itu?"

Hamidah mengangguk.

"Apakah dia tidak marah Kau menghabiskan waktunya untuk hal yang tidak penting sama sekali seperti itu?" tanya Alana dengan nada sinis. "Kau kekurangan pekerjaan atau bagaimana?"

Hamidah menggeleng. Entah apa maknanya, Alana tidak mengerti.

"Kalau tidak ada lagi yang mau dibicarakan," ucap Alana, "aku akan kembali bekerja."

"Tunggu!"

Alana berdecak kesal. "Apalagi?!"

"Bagaimana kalau Kau menikah?"

"Apa?!"

"Menikahlah dengan Salman, aku tidak keberatan."

"Kau salah minum obat ya?!" Alana geram.

"Aku serius," ucap Hamidah.

"Aku juga serius. Kenapa Kau selalu mengatakan omong kosong seperti ini?! Apa tujuanmu?"

"Ini demi Angga, ia pasti ingin ibu dan ayahnya bahagia."

Alana tertawa. Benar-benar tak habis pikir dengan tingkah wanita di hadapannya.

"Tidakkah Kau ingin merasa bahagia, Alana?" tanya Hamidah.

"Kau pikir arti bahagia sesempit itu? Hanya sekedar menikah dengan laki-laki yang Kau sukai lalu akan merasa bahagia? Hanya itu?!"

"I-iya...?" Hamidah tak yakin harus menjawab seperti apa.

"Dengar, Nyonya! Aku sangat terharu karena kau peduli pada kebahagiaanku." Alana mengusap dadanya seraya melayangkan senyuman paksa. "Tapi kalau Kau berpikir aku tidak bahagia dengan hidupku yang seperti ini, Kau salah besar! Aku bahagia saat bisa memeluk anak tersayangku, aku bahagia saat bisa menyelesaikan semua tugas dan pekerjaan, aku bahagia saat menemui pelanggan, aku bahagia saat bisa melihat senyum orang-orang yang ku pedulikan. Aku---"

"Kau juga bahagia saat bertemu denganku?" Hamidah menyela uraian panjang Alana. "Bagaimana dengan senyumku?" Wanita itu memasang senyum semanis mungkin. "Apa Kau bahagia melihat senyumku?"

Alana menggaruk-garuk kasar kepalanya yang tertutup kain kerudung berwarna hitam. Rasanya ia bisa gila jika terus menerus bicara dengan Hamidah.

Bahagia Milik KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang