Adalah sebuah gubuk kecil tak berpenghuni di pinggir jalan. Alana tiba di tempat itu dengan nafas terengah-engah. Entah berapa lama ia berlari sejak meninggalkan rumah Alvin hingga tiba di gubuk tersebut.
Serangkaian video yang beberapa menit sebelumnya tayang di televisi milik keluarga kecil Alvin masih terus berputar di kepala Alana. Perempuan itu sama sekali tak menyangka jika isu yang berkaitan secara langsung dengan dirinya sudah menyebar sedemikian rupa hingga bisa menjadi isi sebuah berita televisi. Pemilik wajah oval itu baru saja menyadari situasi sebenarnya yang tengah dia hadapi.
Luapan emosi memenuhi diri Alana, terutama ketika terngiang kembali suara sang narrator televisi, yang menyebutkan bahwa Ustadzah Fatiyah saat ini dalam kondisi sakit, kemungkinan disebabkan oleh berita tentang putranya yang telah menyebar luas. Wanita yang kini menjadi kepala sebuah boardingschool itu juga tidak lagi terlihat di layar televisi, acara ceramah agama di mana ia selalu menjadi nara sumber telah berganti dengan acara lain.
Begitu besar rasa bersalah yang Alana miliki. Untuk kesekian kalinya, ia membuat hidup seseorang hancur berantakan. Karena kesalahannya, orang lain mengalami kerugian. Terlebih orang itu adalah Ustadzah Fatiyah, orang yang berjasa besar pada Alana. Entah bagaimana ia akan membayar semuanya. Kata 'maaf' saja rasanya tak akan cukup.
Alana mengeluarkan telepon selular dari dalam ransel. Alat komunikasi miliknya itu akhirnya ia putuskan untuk digunakan. Satu-satunya nomor kontak yang ada di gawai tersebut ditekan, nomor selular milik Salman. Bulir bening menetes dari dua netra Alana satu demi satu saat panggilan telepon mulai tersambung.
"Halo...." Terdengar suara bariton dari seberang sana.
Alana meneguk saliva, sekuat tenaga ia menahan isak agar tidak terdengar orang yang saat ini sedang berada di saluran telepon bersamanya.
"Halo?!" Salman kembali bicara. Kali ini lebih keras terdengar.
"Halo...." Alana akhirnya bersuara, hampir tak terdengar. Namun setelah itu, ia tak sanggup lagi berkata-kata karena tangis yang pecah tak tertahankan.
.
.
.
"Ada apa?" tanya Salman beberapa menit kemudian. Laki-laki itu tak menutup telepon meski sejak saluran terhubung Alana hanya sempat mengucap 'halo'. Dengan segenap kesabaran ia menunggu hingga tangis ibu dari putranya reda.
Sejak awal Salman tahu bahwa yang menghubunginya adalah Alana. Mereka memang telah lama bertukar nomor telepon, semata-mata untuk kepentingan Angga. Akan tetapi meski telah lama saling menyimpan nomor kontak, ini adalah kali pertama mereka berkomunikasi. Sebelumnya mereka tak pernah berhubungan, meski hanya sekedar berkirim pesan.
"Aku melihat berita...." Alana berucap dengan suara lirih. "Apa benar ibumu sakit?"
Salman menghela nafas panjang, lalu bicara, "Iya...," jawabnya.
"Maaf...." Tangis Alana kembali pecah. "Ini semua karena kesalahanku...."
Salman menggigit bibir bawahnya. Mendengar Alana menangis membuat ia juga didera gundah. "Ini tidak ada hubungannya denganmu," ucapnya dengan suara rendah.
"Tidak...." Alana menggeleng. "Ini semua salahku. Berita-berita itu ... ibumu---"
"Bukan karena itu beliau sakit!" Salman membantah.
Alana tidak percaya. "Pasti karena itu!"
"Tidak, dia sudah sakit sebelum berita-berita itu tersebar."

KAMU SEDANG MEMBACA
Bahagia Milik Kita
RomanceAlana adalah orang tua tunggal. Dia ibu dari seorang anak bernama Angga. Mereka hidup bahagia meski kerap disandra kesulitan dan ujian hidup.