Bab 5

6.5K 454 8
                                    

Wanita bernama Hamidah itu menghela nafas seraya mengurut pelipisnya. Ia baru saja bicara dengan seseorang melalui sambungan telepon. Adik laki-lakinya yang bernama Surya mengabarkan, bahwa hari dua hari ini terjadi sesuatu yang cukup penting di tempatnya bekerja. Salman, suami Hamidah, yang tak lain juga atasan Surya kehilangan benda yang cukup berharga, sebuah tablet dengan harga belasan juta rupiah.

Hamidah merasa sedikit kecewa. Salman tidak mengatakan apapun padanya tentang kejadian ini. Laki-laki itu memang terlalu tertutup. Salman memang memperlakukan Hamidah dengan baik. Dia melaksanakan tugasnya sebagai suami, memberi nafkah baik lahir maupun batin. Namun, terlalu banyak hal yang ia simpan untuk dirinya sendiri.

Mereka sudah menikah lebih dari lima tahun, Salman tak pernah sekalipun bersikap kasar kepada Hamidah. Sikapnya santun dan penuh adab. Namun, tak bisa dipungkiri, kadang kala Salman bersikap terlalu misterius. Hamidah kerap mendapatinya termenung di ruang kerjanya di rumah, entah apa dipikirkan. Jika ditanya, Salman hanya akan mengatakan 'tidak apa-apa', setelah itu ia mengalihkan pembicaraan.

Hamidah memang sudah tahu perangai salman ini sejak sebelum mereka menikah. Selain mereka adalah kawan satu kampus, orang tua Hamidah dan orang tua Salman juga  sahabat baik. Hamidah telah diwanti-wanti oleh mertuanya sebelum menikah, bahwa Salman adalah laki-laki pendiam dan sulit terbuka pada orang lain.

Hamidah mencoba mengerti dan menerima, namun, pernikahan mereka sudah berjalan begitu lama. Entah mengapa Salman belum juga bisa terbuka pada Hamidah. Laki-laki itu begitu kaku. Dia memang santun, namun kadang-kadang kelewat santun.

"Kata Surya, tablet punya Mas hilang di kantor ya?" Hamidah bertanya suaminya yang tengah bersiap merebahkan diri di pembaringan.

Salman menoleh. "Iya," jawabnya.

"Kok aku gak dikasih tahu?"

"Aku juga baru ngeh tadi pagi kalau hilang. Aku pikir kemarin gak dibawa ke kantor. Ternyata dibawa dan hilang."

"Ada yang nyuri, Mas?"

Salman menghela nafas. "Kemungkinan sih, begitu ...." katanya. "Tapi belum tentu juga. Masih dicari."

Hamidah manggut-manggut mendengar penjelasan suaminya. Kehilangan benda semahal itu bukan hal sepele. Itu juga menandakan bahwa situasi tempat suaminya bekerja tidaklah aman.

"Sering ada kehilangan gitu ya, Mas?" tanya Hamidah.

"Gak juga sih, baru kali ini malah. Kemarin, ada ibu-ibu datang masuk ke kantorku, mau minta bantuan biar anaknya dilolosin seleksi beasiswa. Setelah dia pergi, tabletnya hilang."

"Jadi yang nyuri ibu-ibu, Mas?"

"Bisa jadi iya, bisa jadi juga bukan ...." Salman menjawab tak pasti. "Aku gak mau asal nuduh, takutnya, bukan dia yang nyuri."


***


Alana menghitung uang yang ada di dalam amplop pemberian mantan atasannya di minimarket. Isi amplop itu sama besarnya dengan gaji Alana selama satu bulan. Wanita beranak satu itu lantas menghela nafas. Besok, ia harus mencari pekerjaan baru. Meskipun pak Anton berjanji akan memanggilnya bekerja kembali saat pencuri tablet milik Salman ditemukan. Belum tentu yang terjadi sesuai janjinya. Setelah Alana diberhentikan, minimarket itu pasti akan merekrut orang baru yang akan menjadi penggantinya. Entah Alana akan diterima kembali atau tidak jika sudah ada orang baru tersebut.


Karena itu, ia harus bersiap dengan kemungkinan terburuk. Dia sudaha mengikhlaskan jika akhirnya tidak bisa kembali bekerja di minimarket. Lagipula, Alana yakin, rezeki bisa ada di mana saja. Tidak hanya ada di satu tempat. Allah yang Maha Penyayang dan Maha Pemberi Rezeki pasti memudahkan semuanya. Alana yakin. Selama ini, dia telah banyak mengalami kesulitan dalam hidup, dan di belakang setiap kesulitan yang harus dia jalani itu, selalu ada kemudahan-kemudahan yang menjadi jalan keluar baginya.


Tentu Alana masih tidak dapat menerima bahwa ia dituduh mencuri, sesuatu yang tidak pernah ia lakukan seumur hidup. Namun, ia tidak bisa berbuat apa-apa jika orang lain tidak mau mempercayainya. Alana harus bersiap diri. Ia yakin, kabar bahwa ia diberhentikan dari minimarket karena ada tuduhan pencurian pasti akan menyebar ke seluruh karyawan, bahkan ke seluruh desa, cepat atau lambat.


"Sayang ... Ibu mau bicara." Alana berbisik di telinga Angga. Anak laki-laki berusia tujuh tahun itu sedang menonton acara kartun di televisi.


Angga menoleh pada Alana. "Ibu mau bicara apa?"


"Ibu berhenti kerja di minimarket. Besok, ibu mau cari pekerjaan lain." Alana mengelus punggung putranya yang bergetar karena gusar. "Dengarkan Ibu baik-baik, Sayang. Tadi siang, Ibu dituduh nyuri barang orang. Tapi, ibu sebenarnya gak nyuri, mereka cuma asal tuduh." Alana menatap lurus wajah putranya. "Angga percaya kan sama ibu?"


"Iya, aku percaya sama Ibu." Angga memeluk Alana. "Ibu selalu melarang aku nyuri, gak mungkin ibu sendiri nyuri."


"Alhamdulillah ...." Alana menghela nafas, lega. "Makasih ya, sayangnya ibu."


"Iya, Bu." Dua netra Angga menitikkan bulir bening. "Aku sayang sama Ibu."


Alana mengeratkan pelukannya. "Ibu juga sayang sama Angga. Sayaaang banget."


Bahagia Milik KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang