Bab 48

674 54 8
                                        

Salman sedang memeluk pelampungnya.

Susah payah ia menghindar setiap kali Hamidah memulai bicara. Membahas tentang masa depan rumah tangga mereka. Wanita itu sama sekali tidak mengerti, arti pernikahan ini bagi Salman. Layaknya sebuah pelampung yang membuat ia bertahan.

Di tengah derasnya arus kehidupan, di mana ia pada awalnya terombang-ambing oleh tuntutan peran, pernikahan dengan Hamidah terasa seperti pelampung yang membuatnya bertahan. Tangan wanita itu seolah terulur hendak menyelamatkan. Meskipun awalnya Salman menolak ide tentang pernikahan di antara mereka, namun di kemudian hari, dia justru mensyukurinya. Meskipun memang, Salman menyadari, sebagai suami ia jauh dari kesempurnaan.

Terkadang ia juga merasa bersalah karena tidak bisa memberikan pernikahan sempurna untuk sang istri. Ada banyak kekurangan Salman sebagai suami. Salman sangat bersyukur Hamidah selalu mau mengerti.

Pernikahan dengan Hamidah menjadi tanda bahwa hidup Salman berharga, ini untuk dirinya sendiri, bukan untuk orang lain.

'Menjadi seorang suami bagi seorang wanita.'

Itu adalah 'daratan' yang akhirnya mampu ia capai, setelah begitu lama terombang-ambing di tengah 'lautan'. Segenap hati Salman berjanji bahwa ia akan melakukan yang terbaik yang ia bisa sebagai kepala keluarga. Akan tetapi ... akhir-akhir ini, telah berkali-kali Hamidah meminta berpisah, tentu saja karena kehadiran Angga dan Alana, serta terkuatnya kisah kelam itu.

Salman merasa seperti seseorang tengah merebut pelampungnya. Dan ia akan kembali ke lautan dalam, yang sunyi, sesak dan menakutkan.

Hamidah juga berkali-kali bertanya-tanya tentang cinta. 'Apakah Salman mencintainya, ataukah justru mencintai Alana.'

Sejujurnya, laki-laki itu bingung harus bagaimana menjawabnya. Benar, ia menikahi Hamidah bukan karena cinta. Akan tetapi memangnya kenapa? Bukankah yang terpenting adalah fakta bahwa kini mereka bersama dalam biduk rumah tangga.

Terlepas dari adanya cinta atau tidak. Salman dan Hamidah sama-sama mendapatkan apa yang mereka inginkan. Hamidah mendapatkan pria yang diharapkan menjadi suaminya, sedangkan Salman mendapatkan pelampung hidupnya. Sejauh ini, Salman merasa itu cukup untuk mereka berdua. Hamidah juga tidak pernah menyuarakan keberatan atas kondisi pernikahan mereka yang jauh dari sempurna.

Hamidah tak pernah mengeluh meski hubungan mereka lebih mirip hubungan antar teman daripada hubungan sebagai pasangan yang telah terikat dalam pernikahan, wanita itu mengerti bahwa kegiatan di ranjang menjadi hal yang sangat menyiksa bagi Salman.

Mereka pernah mencoba, berkali-kali. Namun selalu berakhir dengan Hamidah yang kecewa. Dan tentu Salman pun meresa kecewa, pada diri sendiri. Sudah teramat sering laki-laki itu meminta maaf pada sang istri, dan sudah begitu sering pula, Salman meminta diberi waktu dan kesempatan untuk memperbaiki diri, lagi dan lagi. Hamidah dengan lapang dada mengabulkan semua permintaan Salman. Wanita itu, entah mengapa begitu pengertian.

Salman selalu menganggap mahligai rumah tangga yang telah dibangunnya cukup sempurna dan cukup membuat bahagia. Perlahan-lahan, kehadiran Hamidah di sisinya membawa perasaan nyaman. Salman juga merasa tenteram, tenang. Pria yang telah melewati usia tiga puluh itu yakin, kehidupan mereka di masa depan akan lebih baik dan sesuai harapan. Ia memang selalu penuh pengharapan. Namun sepertinya kini, tidak lagi seperti itu bagi Hamidah.

Sejak kehadiran Angga dan Alana dalam hidup mereka, wanita itu jadi sering mempertanyakan soal cinta. Sesuatu yang tak Salman miliki, bahkan untuk dirinya sendiri.

Lalu kini Hamidah kembali meminta berpisah. Sejak pagi buta terus saja ia mengajak bicara. Salman tak tahan hingga akhirnya melarikan diri, pergi mencari pelampungnya yang lain, yang baru beberapa bulan ia temukan. Angga, puteranya.

Bahagia Milik KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang