"Pak Salman!" Agus berteriak memanggil atasannya. Pemuda itu mendatangi Salman dan beberapa staf yang melakukan diskusi di ruang rapat.
"Ada apa, Gus?" tanya Salman. Ia heran dengan ketergesa-gesaan sang office boy.
Agus mengangkat tangannya yang sedang memegang sebuah benda. "Ini, Pak. Tabletnya ketemu." Ia mendekati Salman dan menyerahkan benda tersebut. "Kayaknya jatuh, saya nemu terselip di antara sofa dan meja di ruang kerja Bapak. Mungkin, karena warna meja, sofa dan tabletnya sama-sama hitam, jadi selama ini gak ketahuan."
Salman tercengang, begitu juga dengan empat orang yang lain yang ada di ruangan itu. Beberapa hari ini, mereka telah mengambil kesimpulan dan juga sikap, bahwa benda mewah milik Salman itu dicuri, meski si pemiliknya memutuskan untuk tidak bertindak lebih lanjut.
"Jadi, tabletnya gak dicuri dong, Gus?" tanya Salman seraya menatap heran benda di hadapannya. "Astaghfirullahal'azhim ... kita udah nuduh orang lain nyuri sembarangan selama ini ...." Salman bicara pada Surya, "Kita harus klarifikasi ke pihak mini marketnya, Sur. Kasihan bu Lana."
Bergegas, Surya mengambil telepon selularnya, disaksikan semua yang ada di ruangan, dia menghubungi kawan baiknya yang bekerja sebagai manajer minimarket, yang tak lain adalah atasan bu Lana, seorang wanita yang beberapa hari lalu datang ke kantor Surya.
"Hai, Anton. Sorry ganggu sebentar."
".........."
"Gini, maaf sebelumnya. Tablet pak Salman ternyata gak dicuri, jatuh keselip di antara meja dan sofa yang ada di ruangan beliau."
"........."
"Iya, begitu kejadiannya. Tolong, sampaikan permohonan maaf kami, terutama saya, kepada bu Lana."
"........."
"Baik, terima kasih ya."
".........."
Lalu sambungan telepon ditutup. Semua orang menghela nafas lega. Tapi, tak satu pun dari mereka menyadari, seseorang telah menjadi korban dari kecerobohan mereka beberapa hari lalu, yaitu Alana.
Sudah tak terhitung tangis Alana yang mengalir akibat dari tuduhan semena-mena itu. Meskipun, ia berusaha untuk tegar, bersikap seolah semua baik-baik saja. Tapi tak dapat dimungkiri, dia sakit hati.
Wanita itu kini tengah duduk di hadapan beberapa orang. Alana harus meminta izin dari warung bakso tempatnya bekerja karena kehadiran orang-orang ini di kediamannya.
"Saya, Farhan, anak kandung bu Nur." Seorang pria bicara pada Alana.
"Saya Alana."
"Ya, saya tahu."
Alana menghela nafas. Dia memang tidak tahu apa maksud kedatangan beberapa orang yang mengaku sebagai anak dan kerabat bu Nur pagi ini. Tapi, dia merasakan bahwa sesuatu yang tidak menyenangkan akan terjadi tak lama lagi.
"Saya mau bawa ibu saya ke rumah kami." Pria yang mengaku bernama Farhan meneruskan bicara. "Mau saya urus sendiri. Dan ... rumah ini rencananya akan dijual."
Ya, tentu. Ini memang akan terjadi, tapi aku tak mengira akan secepat ini. Begitu Alana membatin.
"Saya mohon pada Ibu untuk segera meninggalkan rumah kami."
Alana mendongak, menatap lurus orang yang sejak tadi bicara dengannya. "Kapan Ibu akan dibawa?" tanyanya pada Farhan.
"Hari ini juga."
Jadi, aku dan Angga juga harus pergi dari sini hari ini. Kembali Alana bicara dalam hati.
Wanita itu lantas beringsut, mendekati bu Nur yang tengah berbaring. Sejak tadi, dia memang duduk di ranjang yang ditiduri beliau.
Alana memeluk bu Nur, lalu berkata, "Bu, makasih ya, selama ini sudah bantuin aku sama Angga. Sudah kasih tempat untuk berteduh, sudah bantuin aku ngurusin Angga dari bayi." Tangis Alana pecah, ia tak dapat menahannya. "Terima kasih, sudah jadi sosok ibu buat aku. Ibu baik banget, aku sayang banget sama ibu." Kata-kata Alana terhenti. Beberapa saat kemudian ia bicara lagi, "Maaf kalau aku banyak salah, maaf belum bisa balas semua kebaikan-kebaikan ibu sama kami. Semoga ibu sehat dan bahagia setelah tinggal dengan anak kandung ibu."
Alana mengusap pipinya yang dipenuhi air mata. Ia dapat melihat dengan jelas, bahwa bu Nur juga menangis. Menangisi perpisahan yang akan mereka hadapi tak lama lagi. Entah, apakah kelak mereka akan dapat bertemu kembali.
"Sudah siap 'kan ambulannya?" Farhan bertanya pada seseorang melalui sambungan telepon. Beberapa orang yang ikut bersamanya mulai mempersiapkan barang-barang yang akan dibawa untuk keperluan bu Nur.
Dan, begitu juga dengan Alana dan Angga. Mereka juga harus berkemas. Mereka harus meninggalkan tempat itu segera. Alana mengucap doa dalam hati, semoga tempat baru mereka nanti akan lebih baik, mereka akan bertemu dengan orang-orang baik, sebaik bu Nur. Alana tak akan bersedih karena peristiwa hari ini. Memang, beginilah selalu kehidupan berlaku. Tak akan pernah berhenti di satu fase. Hidup akan terus berjalan.
Alana yakin, ia dan Angga akan baik-baik saja setelah ini, mereka punya tempat bersandar dan berlindung yang pasling sempurna, yaitu Allah azza wa jalla.

KAMU SEDANG MEMBACA
Bahagia Milik Kita
RomanceAlana adalah orang tua tunggal. Dia ibu dari seorang anak bernama Angga. Mereka hidup bahagia meski kerap disandra kesulitan dan ujian hidup.