"Lagi butuh karyawan ya, Mbak?" Alana bertanya kepada seorang pemilik usaha laundry. Di dinding kiosnya terdapat kertas bertuliskan 'Dicari Karyawan'.
"Enggak. Sudah ada." Pemilik usaha laundry menjawab pertanyaan Alana. Lalu masuk ke dalam kiosnya dengan terburu-buru.
Ini sudah kesekian kalinya Alana ditolak para pemilik kios. Padahal dia bersedia melakukan apa saja, asal tidak melanggar hukum tentunya.
Nampaknya, desas-desus bahwa Alana diberhentikan dari minimarket karena ada tuduhan pencurian telah menyebar luas. Sepanjang blok yang tengah ia lewati kini, Alana sudah beberapa kali dengan tidak sengaja mendengar bisik-bisik orang lain tentang dirinya.
Alana menghela nafas. Dadanya terasa begitu sesak. Ini sangat tidak adil. Bagaimana bisa dia dituduh mencuri tanpa bukti? Dan, karena tuduhan itu, ia harus kehilangan pekerjaan, dan kehilangan kepercayaan dari orang-orang. Padahal, Alana tidak mencuri apapun. Tapi ia harus dihukum atas kejahatan yang sama sekali tidak ia lakukan.
Sudah berjam-jam Alana berkeliling pasar hingga komplek pertokoan, tidak ada satupun lapak atau kios yang mau memberinya pekerjaan. Padahal, Sebagian di antaranya memasang pengumuman lowongan kerja di dinding kios mereka.
"Bang, ini satu ya." Alana mengambil sebotol air mineral dari gerobak pedagang air minum keliling, lalu menyodorkan satu lembar uang kertas.
"Makasih ya," ucap Alana saat pedagang tersebut menyerahkan uang kembalian. Sejurus kemudian, dia berjalan ke sebuah halte bus yang berada tidak jauh dari tempat pedagang air mineral mangkal. Alana duduk di halte bus, lalu membuka botol air minum dan meneguk isinya hingga hanya terisi setengahnya. Ia memang sangat haus.
Setelah minum, Alana merasa sedikit lebih baik. Keringat yang mengalir dari pelipisnya menandakan bahwa perjalanannya hari ini lumayan berat. Penolakan demi penolakan yang ia terima tak bisa dipungkiri membuatnya sedih dan kecewa. Namun, Alana tak ingin mengeluh, ia merasa tidak pantas untuk mengeluh. Ia pernah mengalami saat-saat yang lebih sulit dan lebih menyedihkan dari saat ini, dan dia baik-baik saja sekarang.
Tiba-tiba kantuk datang, Alana memutuskan untuk mengistirahatkan dirinya di halte itu. Dia tidur sambil duduk beberapa waktu, berbekal sebuah topi untuk menutupi wajahnya. Alana memang bisa tidur di mana saja. Dia bahkan pernah tidur di samping tempat sampah saat hidup terlunta-lunta di jalanan tujuh tahun lalu.
"Mbak, bangun ...."
Alana membuka mata, baru saja, ada yang bicara padanya dan menggoyang-goyang bahunya.
"Mbak ketiduran di sini ya?" Orang yang membangunkan Alana bertanya.
"Iya, Mbak." Alana membuka topinya, "makasih udah dibangunin."
"Sama-sama, Mbak."
Yang membangunkan Alana adalah seorang wanita. Sepertinya, seorang pekerja kantoran, dilihat dari baju yang dikenakannya.
"Mau berangkat kerja ya, Mbak?" tanya Alana.
"Iya, saya mau kerja. Kalau Mbak, mau ke mana? Mau berangkat kerja juga?"
"Saya ... saya lagi nyari kerja, Mbak." Alana tersenyum.
Wanita itu menatap penuh iba. Entah apa yang dia pikirkan, Alana tidak dapat menebaknya. Mungkin ia merasa kasihan.
"Biasanya kerja apa, Mbak?" tanyanya.
"Apa aja, Mbak. Sebelum ini, saya bekerja jadi cleaning servis."
Wanita perkerja kantoran manggut-manggut mendengar jawaban Alana. "Mau kerja di warung bakso?"
Alana mendongak. "Warung bakso? Boleh, Mbak. Ada warung bakso yang lagi nyari karyawan?" Hati Alana dipenuhi asa.
"Warung bakso ibu saya, karyawannya ada yang cuti melahirkan. Gak jauh dari sini." Wanita itu menunjuk sebuah gang yang terlihat lumayan jelas. "Masuk ke gang itu. Nanti, ada warung bakso, namanya Warung Bakso Pak Warto. Nanti, kalau Mbak ke sana, bilang aja, Mbak temannya Santi. Itu saya, Mbak. Bilang aja Mbak temen saya."
Seketika Alana memegangi lengan Santi yang tertutup kain kemeja. "Makasih ya, Mbak," katanya dengan mata berkaca-kaca.
"Iya, Mbak. Sama-sama," kata wanita bernama Santi itu. "Mudah-mudahan betah kerja sama ibu saya. Beliau agak cerewet." Santi berseloroh.
Alana tertawa, "Enggak apa-apa, Mbak."
Sebuah mobil angkutan umum lewat di hadapan mereka, Santi melambaikan tangan, tanda ia hendak menjadi penumpang. "Saya berangkat kerja dulu, Mbak, " kata Santi pada Alana.
Alana berterima kasih sekali lagi, lalu melepas Santi pergi dengan lambaian tangan. Dengan hati dipenuhi rasa syukur, Alana beranjak dari halte bis, berjalan menuju gang yang sebelumnya ditunjukkan oleh Santi. Semoga saja, dia mendapat pekerjaan kali ini.

KAMU SEDANG MEMBACA
Bahagia Milik Kita
RomanceAlana adalah orang tua tunggal. Dia ibu dari seorang anak bernama Angga. Mereka hidup bahagia meski kerap disandra kesulitan dan ujian hidup.