Saat Alana terbangun, wajah itu terlihat berurai air mata. Si empunya nampak amat sedih. Entah karena apa.
"Alana, Kau sudah bangun?" Hanum merangsek saat menyadari Alana telah membuka mata. "Syukurlah...." Ucapnya lirih seraya membimbing Alana untuk duduk, lalu memeluk erat.
"Kenapa Kamu menangis?" tanya ia yang tengah di pelukan Hanum. Alana menatap heran wanita itu.
Hanum lantas kembali ke tempat duduknya semula, di bangku yang berada tepat di sisi ranjang. Entah bagaimana ia harus menjelaskan. Beberapa jam lalu, terjadi sebuah peristiwa yang menghebohkan Rumah Bahagia. Bukan, bukan pasien yang pertama mengamuk selepas subuh tadi. Melainkan yang setelahnya, yaitu Alana.
Sebuah pisau tengah digenggam Alana saat tiba-tiba saja wanita itu seolah kehilangan akal sehatnya. Ia berubah perangai, menjadi seperti orang lain. Jeritan kemarahan keluar dari bibirnya disertai air mata yang mengucur deras. Tangannya mencoba menusukkan pisau ke dirinya sendiri.
'Kamu seharusnya mati!'
'Kamu tidak pantas hidup di dunia ini!'
'Seharusnya Kamu tidak lahir ke dunia ini!"
'Kamu jahat! Kamu sampah! Kamu menjijikan!'
Teriakan demi teriakan dari mulut Alana terdengar keras membahana, sementara pisau berkali-kali berusaha dihujamkan ke perut dan beberapa bagian tubuh yang lain. Kejadian tersebut berlangsung cukup lama, hingga akhirnya tubuh Alana roboh ke lantai dan tak sadarkan diri. Beruntungnya, pakaian yang dikenakan Alana pagi itu cukup tebal, sehingga tusukan pisau tak langsung mengenai kulitnya. Sedangkan pisau yang dipegangnya adalah pisau yang biasa digunakan untuk menyiangi sayuran, jadi tidak terlalu tajam.
Meskipun begitu, tetap saja Hanum amat terguncang saat menyaksikan kejadian tersebut, debar jantungnya bahkan belum kembali normal hingga saat ini. Wanita itu mengusap pipinya yang basah karena tak kunjung berhenti menangis, lantas bicara, "Alana, Kau boleh menangis atau menjerit jika memang menginginkannya. Lepaskan semua beban yang selama ini Kau simpan, Kau memang telah terlalu lama menyimpannya sendirian. Tidak apa-apa jika ingin mengeluarkan semuanya saat ini. Tapi...." Hanum menelan saliva.
"Tapi apa?" tanya Alana. Dahinya mengernyit, masih belum mengarti dengan apa yang terjadi.
"Tapi, Kau tidak boleh menyakiti dirimu sendiri. Kau harus menyayangi dirimu. Tid---"
"Tunggu!" Alana menyela kata-kata Hanum. "Apa maksudmu? Kapan aku menyakiti diri sendiri?"
"Tadi."
"Tadi kapan?"
"Saat Kau mengalami episode ...." Hanum berucap lirih. Matanya menelisik wajah Alana, sementara batinnya menerka, mungkin wanita itu tak mengingat apa yang telah terjadi beberapa jam sebelumnya.
Alana tak mengerti. Sungguh, ia memang tidak mengingat apapun dari kejadian yang Hanum maksud, pun, soal menyakiti diri sendiri. Kapan Alana melakukan itu? tidak pernah seingatnya. Meskipun keinginan untuk menyakiti diri sendiri memang kerap datang. Saat sedang berada di jalanan, sering Alana membayangkan jika ia menabrakkan diri ke mobil yang sedang lalu lalang. Saat sedang di tempat dengan dataran yang tinggi sering ia merasa seperti ingin menjatuhkan diri. Saat ditepi laut, sering ia merasa ingin menenggelamkan diri sendiri. Begitu juga saat sedang memegang benda-benda tajam, sering ia membayangkan bagaimana jika benda itu ditusukkan ke tubuhnya hingga berkali-kali.
Pikiran-pikiran tersebut memang seringkali hadir. Namun, Alana sadar itu semua salah dan tidak seharusnya ia miliki, maka ia selalu berusaha keras menjaga kewarasan diri. Ia berjanji tidak akan kalah dari pikiran-pikiran buruk itu. Demi Angga, ia akan tetap sehat dan hidup dengan baik. Anak kesayangannya itu berhak memiliki ibu yang sehat lahir batin. Akan tetapi, dengan apa yang baru saja Hanum katakan, tidak mungkin ia hanya mengada-ada, bukan?
KAMU SEDANG MEMBACA
Bahagia Milik Kita
RomanceAlana adalah orang tua tunggal. Dia ibu dari seorang anak bernama Angga. Mereka hidup bahagia meski kerap disandra kesulitan dan ujian hidup.