Bab 26

2.2K 178 6
                                        

Warung Bakso Pak Warto siang hari itu tidak terlalu ramai. Dari sepuluh meja saji yang tersedia, empat meja telah ditempati pelanggan, salah satunya ditempati pasangan suami istri, Hamidah dan Salman. Sebenarnya mereka datang bukan untuk makan bakso, tapi untuk menjemput Angga, demi mengantarkannya menuju pesantren.

Alana sibuk hilir mudik mempersiapkan sesuatu, entah apa. Sementara Salman membantu anak laki-lakinya merapikan isi tas ransel yang rencananya yang akan dibawa. Di samping meja yang mereka tempati ada dua buah koper berisi keperluan Angga selama di pesantren.

Hamidah mendengar suara tawa suaminya dikarenakan ulah Angga yang menurutnya biasa saja. Wanita itu sejak tadi memang memperhatikan interaksi ayah dan anak tersebut. Salman terlihat sangat bahagia. Ekspresi yang tersaji di wajahnya merupakan hal baru bagi Hamidah. Ia begitu riang, senyumnya senantiasa mengembang, terutama jika sedang menatap lelaki kecil yang kini tengah dipeluknya.

"Alana, kau sudah bisa pergi tidak?" tanya Hamidah. Alana baru saja lewat di depan meja mereka.

"Tunggu sebentar lagi. Ada beberapa keperluan warung yang harus dipersiapkan selama aku pergi." Alana bicara seraya berjalan menjauh, ke arah dapur.

Hamidah menyadari bahwa Salman sempat menatap Alana sekilas saat ia dan wanita itu bercakap-cakap.

Ingatan akan cerita Surya kemarin malam kembali menyeruak. Diceritakan bahwa, Surya melihat Salman dan Alana bicara empat mata di area parkir kantor Yayasan. Hamidah bertanya pada adiknya tentang apa yang dua insan itu bicarakan. Surya mengatakan bahwa ia tidak tahu persis, adik laki-laki Hamidah itu berdiri cukup jauh dari lokasi mereka bicara, yang jelas, kata Surya, Salman dan Alana terlihat begitu serius, masing-masing berteriak, bahkan saling mengumpat. Dua insan itu berpisah dalam keadaan masih terisak-isak. Mereka sama-sama menangis.

Hamidah menghela nafas. Sejujurnya ia merasa sangat penasaran tentang apa yang sebenarnya mereka bicarakan. Ingin sekali bertanya pada Salman, tapi Hamidah yakin, laki-laki itu tidak akan memberikan informasi berarti, yang dapat mengobati rasa penasarannya. Bicara pada Alana akan lebih sulit lagi. Wanita itu bahkan terkesan selalu mengindari interaksi dengan Hamidah. Bicara seperlunya saja.

Perasaan cemburu tiba-tiba menyerbu relung batin Hamidah. Ia merasa Alana dan Salman memiliki begitu banyak cerita bersama. Sementara dirinya hanya menjadi penonton saja. Ini mungkin konyol, tetapi Hamidah merasa menjadi orang ketiga. Padahal, Hamidah lah istri Salman, sedangkan Alana, Wanita dari masa lalunya.

"Kau sudah bisa pergi?" Suara Salman membuyarkan lamunan Hamidah. Laki-laki itu bertanya pada Alana yang ternyata sudah berdiri di sisi Hamidah.

"Sudah," jawab Alana. Wanita itu menoleh pada Hamidah. "Ayo kita pergi sebelum terlambat," katanya.

Dua koper yang sebelumnya teronggok didorong oleh Salman, ia berjalan menuju ke arah di mana mobil yang rencananya akan digunakan selama perjalanan terparkir. Hamidah berjalan di belakang Salman, disusul Alana dan Angga yang rencananya akan duduk di bangku penumpang belakang.

***

"Nanti aku bisa tidur di Kasur sendiri, Ibu." Angga berkata pada ibunya. "Akhirnya aku bisa punya kasur bagus."

Ingin rasanya Alana menangis. Mendengar celotehan anak laki-lakinya yang tak henti-henti tentang kasur dan tempat tidur membuatnya merasa pilu. Betapa ia telah menjadi orang tua yang tak layak selama ini. Alas tidur yang biasa digunakan Angga selama hidupnya selama ini hanyalah sehelai selimut yang sudah lapuk. Alana tak pernah memiliki kemampuan membeli kasur, apalagi tempat tidur untuk puteranya. Ternyata Angga begitu mengharapkan memiliki kasur sendiri. Alana tidak pernah menyadari selama ini.

Kesedihan di hati Wanita itu bahkan akan bertambah lagi setelah ini. Ia akan berpisah dengan lelaki kecil itu. Entah bagaimana nanti hari-hari Alana tanpa kehadiran Angga.

Bahagia Milik KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang