Bab 46

505 59 7
                                    

Entah sudah berapa lama Hanum bicara. Alana tak kunjung merespon kata-katanya. Hanya beberapa kali mengajukan pertanyaan, itu pun tentang siapa Hanum. Selebihnya, Alana hanya diam. Kepalanya sering kali tertunduk, atau terkadang menatap kaca jendela. Matanya terbuka, namun pikirannnya entah berada di mana

Wanita di samping Hanum itu bersikap layaknya seorang manusia patung yang banyak berkeliaran di kota tua. Menatap Alana seperti menatap sebuah rumah kosong tak berpenghuni, bangunannya ada, namun tak ada kehidupan di sana.

Sesungguhnya Hanum mengerti akan gejala yang ditunjukkan Alana kini. Depresi. Sudah banyak orang yang ia temui dengan kondisi seperti ini. Hanya saja, ia berpendapat bahwa kondisinya belum akut. Kondisi Alana masih bisa ditangani. Hanum yakin.

Tidak, bukan yakin. Sejujurnya, itu yang Hanum harapkan.

'Alana tidak mungkin sesakit itu, kan?!'

' Ia baik-baik saja, kan?!'

Itu yang Hanum pikirkan. Ia tahu, mungkin saja salah. Mungkin juga ia sedang denial (melakukan penyangkalan). Akan tetapi, ia tak bisa mengendalikan perasaannya sendiri saat ini. Ia ingin mengikutinya saja.

Hanum hanya ingin Alana berada bersamanya. Ia ingin memeluk gadis rapuh itu seerat-eratnya.

Ya, bagi Hanum, Alana yang saat ini sedang duduk di sisinya sama saja dengan Alana yang dulu. Gadis SMA yang sering ia dapati duduk menyendiri dengan tatapan kosong di sudut taman sekolah.

Dahulu, mereka kerap bertemu pandang. Hanum dapat membaca dengan jelas pesan yang tersirat dalam tatapan berkabut di mata Alana.

'Aku kesepian, tolong temani aku sebentara saja.'

'Aku ingin pulang dan berada di pelukan seseorang.'

'Aku bersedih, tapi tak punya tempat mencurahkan isi hati.'

'Aku tersakiti, tapi tak ada yang berusaha mencoba untuk mengerti.'

Seperti itulah pesan-pesannya.

Hanum menangkap semuanya, dan itu membuat ia ingin dekat dengan Alana, namun tak tahu harus melakukan apa. Sama seperti Alana, ia juga masih begitu belia, amat kikuk dan memiliki begitu banyak keterbatasan. Ia juga tengah memiliki mimpi yang ingin segera dicapai, keinginan yang begitu menggebu-gebu. Meski awalnya ingin sekali berteman namun akhirnya Hanum memilih untuk mengabaikan pesan-pesan itu. Jika mereka kebetulan bertemu, ia akan mengabaikan kehadiran Alana, hal yang sama yang dilakukan penghuni sekolah lainnya.

Bukan, bukan karena ia benci atau merasa jijik. Hanum hanya tak peduli.

Dan, itulah yang saat ini begitu ia sesali.


***


Jam makan malam telah tiba. Seluruh penghuni Rumah Bahagia telah berkumpul di ruangan yang memang biasa difungsikan sebagai ruang makan. Ada sebuah meja cukup panjang di tengah ruangan. Meja itu dipenuhi berbagai macam hidangan hasil pekerjaan tangan para koki penguasa dapur Rumah Bahagia.

Antrian telah terbentuk hingga sepanjang dua meter, bermuara pada ujung meja.

Beberapa orang berkursi roda tidak ikut mengantri, mereka menunggu di sisi ruangan yang lain. Menunggu pembagian makanan yang sedang dipersiapkan oleh petugas jaga. Ada juga yang tetap di kamar, dikarenakan kondisi fisik yang tidak memungkinkan untuk bangun atau berdiri. Mereka menunggu dilayani, oleh perawat atau anggota keluarga yang bertugas mengurus mereka.

Hanum mengajak Alana keluar dari kamar untuk menikmati makan malam bersama penghuni Rumah Bahagia yang lain, namun kondisinya masih tak berubah, masih sama sejak dibawa beberapa jam sebelumnya. Akhirnya Hanum memutuskan untuk membawakan makan malam Alana ke kamarnya.

Bahagia Milik KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang