Bab 13

5.5K 376 3
                                    

"Belajar yang rajin, ya!" kata seorang pria paruh baya kepada puteranya. Tangan besar pria itu mengacak rambut sang putera yang merupakan anak remaja, siswa kelas tiga Sekolah Menengah Atas.

"Nanti siapa yang jemput? Umi atau Abi?" Putera si pria bertanya.

"Abi yang jemput. Umi katanya harus ngisi pengajian."

"Bi, jadi kan kita camping minggu depan?"

"Jadi dong ...!"

"Asyiiik ...!" Si anak remaja berseru penuh kegembiraan. Sang ayah tersenyum melihat tingkahnya tersebut.

Percakapan keduanya disaksikan oleh Alana. Waktu itu, ia baru saja tiba di sekolah tempatnya menuntut ilmu. Salman adalah nama anak remaja laki-laki itu. Setiap hari, Salman diantar ke sekolah oleh ayahnya. Entah kenapa, sering sekali Alana secara tidak sengaja memergoki mereka sedang bercakap-cakap seperti itu.

Melihat interaksi keduanya Alana merasa iri. Ayahnya tidak pernah seramah dan sebaik itu padanya. Dia memang tidak pernah kekurangan harta, hidupnya dipenuhi fasilitas mewah. Namun, Alana kekurangan kasih sayang dari sang ayah. Jangankan memeluk atau sekedar bercakap-cakap hangat seperti itu, ditatap saat bicara saja Alana tidak pernah.

Alana sangat menginginkan perhatian itu. Setiap malam menjelang tidur, dia membayangkan ayahnya akan bicara kepadanya sebagaimana ayah Salman bicara puteranya. Namun, hingga hari ini perhatian yang ia impi-impikan itu tak pernah terwujud.

Alana melakukan banyak hal untuk menarik perhatian ayahnya. Dia pernah belajar begitu giat, mendapatkan nilai sempurna di semua mata pelajaran. Alana ingin sang ayah tersenyum padanya karena hal itu. Namun, senyum itu tidak pernah didapatkannya. Lalu, Alana melakukan berbagai hal lainnya. Dia mengikuti berbagai macam lomba dan memenangkannya, mengukir prestasi dalam berbagai bidang dan keahlian. Namun tetap saja, semua itu tak sanggup melelehkan es yang keras membeku di hati ayahnya.

Sampai kemudian, Alana menjadi begitu frustasi. Dia meninggalkan semuanya, dia berhenti menjadi anak baik dan pintar. Dia berubah menjadi anak nakal, sepenuhnya, dia menjadi biang masalah. Alana jadi sering bolos sekolah, pergi dari rumah tanpa pamit, mengunjungi tempat-tempat terlarang untuk anak remaja seusianya dan menghabiskan uang milik orang tuanya di sana. Alana jadi sering menganggu teman-teman satu sekolahnya. Dia menjadi ketua gang anak-anak bermasalah yang kerap berbuat onar.

Sudah tak terhitung berapa kali ibu Alana dipanggil ke sekolah karena tingkah buruknya. Tahun ini bahkan diputuskan Alana tidak naik kelas. Seharusnya, ia sudah kelas tiga, sekelas dengan Salman. Tapi, Alana masih kelas dua saat ini.

"Hentikan itu!" Alana mendengar seseorang menghardiknya saat tengah melamun di halaman sekolah. Ternyata itu Salman.

"Apa?" Alana tak mengerti maksud perkataannya.

"Kau selalu memperhatikan kami. Aku merasa sangat tidak nyaman. Apa maksudmu? Apa maumu?!"

Ah, Alana mengerti. Salman merasa terganggu karena ia sering memperhatikan interaksinya dengan sang ayah. Alana tidak pernah berpikir Salman menyadarinya selama ini.

"Oh, kamu 'ngeh' ya? Sorry ya ...." Alana tersenyum.

"Kau tidak tahu kalau itu sangat tidak sopan ya?" tanya Salman dengan suara geram.

Alana hanya tersenyum mendengar kata-kata Salman itu. Lantas, ia berlalu pergi tanpa mengatakan apapun.

"Hei! Aku belum selesai bicara!" Salman semakin geram.

Alana hanya tertawa dengan kekesalan pemuda itu.

.

Bruk! Seorang anak laki-laki menabrak Salman di depan ruang kelasnya. Membuat kotak makan yang sedang ia pegang terjatuh dan isinya  tumpah berserakan.

"Ups ... Sorry!" kata anak yang menabraknya.

Salman menatap anak itu dengan tatapan jengah. Ia tahu, insiden tabrakan itu disengaja. Salman ingin protes, tapi rasanya percuma saja. ia juga tidak ingin menjadi pemicu keributan.

"Hei! Jangan diganggu dong ...." Suara anak perempuan terdengar di telinga Salman.

"Ciee ...! Belain aja terus."

Anak perempuan yang bicara ternyata Alana. Dan anak laki-laki yang sebelumnya menabrak Salman adalah Gani, teman satu geng Alana.

"Kamu gak apa-apa, kan?" Alana bertanya pada Salman. "Maaf ya temenku emang suka pada iseng."

"Jiah! Ngomongnya pake 'aku-kamu'." Gani tertawa mengejek. Tawanya itu mengundang teman-temannya yang lain datang ke tempat di mana mereka berada.

"Hei, Lana! Lu suka ya sama si Salman?" tanya Gani.

Alana tersenyum. "Iya," jawabnya, "suka banget." Gadis remaja itu menatap Salman dengan tatapan memuja.

"Ciee ...!" Gani dan anak-anak  yang baru saja datang berseru heboh

Salman mendecih. Ia kesal sekali karena merasa dipermainkan oleh Alana dan teman-temannya. Ia memutuskan untuk meninggalkan tempat itu segera.

"Hei! Cem-cemannya, Lana! Kok pergi sih?!" kata seorang anak. "Jangan ditinggalin dong calon istrinya."

Sontak terdengar riuh suara tawa mengiringi kepergian Salman.

.

Alana masih ingat akan semua itu. Kenangan saat ia masih remaja. Orang bilang, masa-masa remaja adalah masa-masa yang paling indah. Ya, mungkin bagi orang lain. Tapi tidak baginya.

Tok! Tok! Tok!

Alana mendengar pintu kamarnya diketuk. Ia menatap jam di dinding, ternyata sudah pukul sembilan malam. Wanita itu merapikan selimut yang menutupi Angga yang tengah terlelap, lalu beranjak. Alana membuka pintu untuk melihat siapa yang tiba-tiba saja mengunjungi kamarnya.

"Loh, mbak Santi?" 

"Iya. Kamu sudah tidur?"

Alana menggeleng. "Belum."

Santi mengangguk. Lalu menghela nafas. Sepertinya, wanita baik hati itu ingin mengatakan sesuatu, namun merasa ragu.

"Ada perlu sama saya, Mbak?" tanya Alana.

"Iya," jawab Santi, "boleh bicara sebentar di luar?"

"Oh. Boleh, Mbak."

Di sebuah taman, dua wanita itu bicara. Mereka duduk di kursi panjang bercat putih.

"Saya diminta bicara sama mbak Lana oleh Ibu," ujar Santi. "Karena Ibu tahunya mbak Lana teman saya, jadi beliau meminta saya yang bicara karena beliau sungkan untuk bertanya sendiri. Ada beberapa pertanyaan yang Ibu titipkan pada saya."

Alana mendongak. Wajahnya menyiratkan kekhawatiran.

"Tenang aja, ini bukan hal buruk kok." Santi tersenyum.

Rasa khawatir Alana berangsur hilang.  Ia bernafas lega. "Mau tanya apa, Mbak?"

"Itu ... orang-orang yang beberapa hari ini menemui mbak Lana. Siapa mereka?"

"Oh ... mereka dari Yayasan Beasiswa Supersemar. Kantor mereka ada di komplek pertokoan Galaksi Bisnis."

Mendengar jawaban Alana, Santi menganggukkan kepala. Mulutnya membentuk huruf 'o'.

"Apa benar, salah satu dari mereka adalah ayahnya Angga?"

Alana tercengang. Mulutnya menganga seketika. Ia tidak siap dengan pertanyaan itu.

"Maaf ya bikin mbak Lana kaget," ujar Santi. "Ibu bilang, ada laki-laki yang bertanya apakah Angga anaknya atau bukan sama mbak Lana kemarin."

Alana tidak tahu bagaimana harus menjawab pertanyaan wanita yang telah banyak menolongnya itu. Alih-alih memberi jawaban, ia justru malah menangis.

Santi mengusap punggung Alana yang bergetar. "Maaf ya ... gak bermaksud bikin mbak Lana jadi sedih. Maaf ...." 

Santi sedikit merasa bersalah karena mengajukan pertanyaan-pertanyaan itu pada Alana. Ia memutuskan untuk menyudahi pertemuan mereka. Meski Alana tidak menjawab pertanyaan terakhirnya, tapi, ia sudah bisa mengambil kesimpulan. Jika pertanyaan dijawab dengan isak tangis, pasti yang ditanyakan adalah hal yang menyakitkan.

Bahagia Milik KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang