Bab 12

5.6K 428 4
                                        

Pagi menjelang siang itu, Salman berkendara ke kediaman mertuanya. Ia menyeret adik iparnya yang tengah bersantai masuk ke dalam mobil.

"Mau ke mana, Bang?" tanya Surya.

"Ke warung bakso itu lagi."

"Nemuin bu Lana?"

Salman mengangguk. "Iya, aku masih penasaran, Sur. Kenapa dia gak mau ketemu sama aku? Ketemu kamu mau kok dia?!"

"Biarin aja sih, Bang," kata Surya. "Yang penting kan, katanya dia udah maafin. Mungkin emang gak nyaman aja ketemu sama Abang."

Salman menghela nafas. Dugaan Surya tak dapat masuk ke otaknya. Dia tetap merasa harus menemui wanita itu. Entah kenapa, ada dorongan yang begitu besar dalam dirinya untuk bertemu secara langsung. Dia tidak bisa menunda lagi.

"Gini aja. Kamu tunjukkin yang mana orangnya. Nanti aku samperin dia sendiri."

Surya menggaruk rambutnya yang sama sekali tidak gatal. Mau atau pun tidak mau, ia tetap harus menuruti keinginan Salman kali ini. Lelaki itu sulit sekali ditolak.

***

Alana sedang berdiri di depan meja kasir saat seseorang menyebut namanya.

"Bu Lana, bisa bicara sebentar?"

Wanita itu membeku, ia sangat mengenal suara itu. Suara Salman, laki-laki dari masa lalunya.

"Saya Salman, dari Yayasan beasiswa Supersemar." Laki-laki yang sedianya berada di belakang itu mengambil langkah ke sisi kiri Alana, membuat wanita itu sontak memalingkan wajah ke sisi kanan. Alana dengan sengaja menyembunyikan wajahnya.

"Saya mau minta maaf secara langsung soal tuduhan pencurian itu."

Alih-alih merespon semua yang dikatakan Salman, Alana justru bergerak menjauh. Lantas, ia bertemu muka dengan Surya. Kepada laki-laki itu, Alana melayangkan tatapan geram. Dia sudah meminta dengan sangat kepada Surya agar Salman tidak dibiarkan menemuinya.

"Maaf, Bu. Pak Salman maksa." Surya menunduk penuh penyesalan. "Dia minta tatap muka dengan Ibu sebentar kok. Gak bakal lama. Satu menit juga boleh."

Tatap muka?! Justru itu yang tidak Alana inginkan. Meski hanya satu detik, ia tak sudi.

"Saya mohon, Bu. Bisa 'kan, kita saling berhadapan, saya ingin meminta ma---"

Belum  selesai Salman mengucapkan kata-katanya, Alana sudah membalik badan, menampakkan wajah pada pria yang bersikeras menemuinya tersebut.

.

.

.

Salman membeku ... kakinya seperti terpaku ke lantai. Dadanya terhimpit sesak. Netranya mengeluarkan beberapa tetes bulir buning. Salman menangis. Begitu juga dengan wanita yang ada di hadapannya. Wanita itu ... bagaimana ini? Bagaimana harus dia membawa diri di hadapan wanita itu?

"Permintaan maaf Anda sudah saya terima." Alana mengusap pipinya yang basah karena air mata. "Tolong, jangan datang lagi untuk menemui saya lain kali."

Alana beranjak, menjauhi Salman yang masih membeku. Namun, tak berapa lama, Angga memanggilnya. Lelaki kecil itu berlari ke arah Alana sambil membawa mainan lego berbentuk kapal layar. "Ibu!" Angga berseru. "Perahunya udah jadi, nih."

Keberadaan Angga membuat Salman tersadar. Tatapannya mengikuti anak yang baru saja berlari melewatinya dan berdiri tepat di depan Alana itu.

'Ibu'

Salman terngiang bagaimana anak kecil itu memanggil Alana.

"Sayang, kamu mainnya di kamar dulu ya!" Alana berkata pada puteranya dengan nada gusar.

"Ini perahunya udah jadi."

"Iya, Ibu tahu." Alana menyentuh mainan itu seraya tersenyum. "Perahunya bagus. Sekarang, taruh di kamar dulu ya."

Angga menatap heran wajah ibunya. Ia menyadari kegusaran yang Alana miliki. Ia ingin mengatakan sesuatu lagi, namun, tatapan memohon sang ibu membuatnya menutup mulut kembali. Anak berusia tujuh tahun itu lantas menuruti perkataan ibunya untuk menyimpan mainan di kamar mereka.

Setelah kepergian Angga, tatapan Alana beralih pada Salman. Laki-laki itu nampak menatap Angga yang berjalan menjauh dengan lekat.

Dengan langkah tergesa, Alana mendekati Salman. "Tolong, pergi dari sini! Saya sedang bekerja. Anda mengganggu sekali, Pak," katanya.

Surya datang menghampiri Salman, menyeret kakak iparnya itu untuk berjalan keluar kedai tempat Alana bekerja. Namun, setelah beberapa langkah, Salman menghempas tangan Surya, ia kembali ke dalam kedai. Salman  menghampiri Alana dan mencengkeram lengannya. Lalu bertanya, "Apa dia anakku?"


.


.


.


Rasanya, dunia Alana tiba-tiba saja berhenti berputar.

"Apa dia anakku?" tanya Salman. Laki-laki itu bicara sambil mencengkeram lengannya.

"Jawab aku! Apa dia anakku?" Salman mengulang pertanyaan. Di belakangnya, ada Surya dengan mulut menganga. Dia terkejut dengan pertanyaan Salman yang dilontarkan kepada Alana.

"Dia bukan anakmu!" jawab Alana. "Pergi dari sini! Jangan datang menemuiku atau menemui anakku!" 

Alana berlari meninggalkan Salman. Pipinya dipenuhi air mata. Ia tahu, semua yang ada di dalam kedai melihat interaksinya dengan Salman. Termasuk majikannya. Entah bagaimana respon bu Warto setelah kejadian ini. Alana mungkin harus bersiap kehilangan pekerjaan lagi.


.


.


.


"Bang Salman kenal sama bu Lana?" tanya Surya.

Mereka kini sedang berada di dalam mobil. Pemuda itu tak sabar ingin mendapat penjelasan tentang semua yang ia lihat di dalam kedai, antara Salman dan Alana.

"Anaknya bu Lana itu anak bang Salman?" tanya Surya lagi. Ia merasa heran dengan pertanyaannya sendiri. "Jelasin semuanya, Bang! Aku bingung nih. Jadi ceritanya gimana antara Abang sama bu Lana?"

Salman diam saja. Entah sedang di mana pikirannya.

"Abang punya anak dan istri lain tanpa sepengetahuan kak Midah? Abang selingkuh?" tuduh Surya. "Jawab, Bang!" Pemuda itu mencengkeram bagian depan kemeja kakak iparnya.

"Bukan begitu ceritanya."

"Terus, gimana ceritanya?"

Salman menghela nafas. Merasa terjebak situasi. Entah bagaimana ia harus menjelaskan pada Surya. Kisah antara dirinya dan Alana sangat rumit. Mereka sama sekali tak pernah menjadi sepasang kekasih, bahkan sebaliknya, mereka justru saling membenci.

"Mau sampai kapan diamnya?" Surya semakin tak sabar.

"Nanti aku jelasin. Tapi bukan sekarang."

"Kapan?!"

Salman tak menjawab. Dia lebih memilih menyalakan mesin mobilnya, dan berkendara pulang. 

Bahagia Milik KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang