Clo sudah siap membidikkan XM2010-nya ke target malam ini yang akan mengubah semua keputusannya. Dia tidak tahu kurang lebih dari jarak satu kilometer, orang yang selama ini dicarinya akan berada di depan mata.
"Geumanhae (1) Clover." Suara berat laki-laki di belakangnya terasa familier di telinga Clo. Namun, ia diam seribu bahasa tetap fokus mendengar perintah pada alat kecil di telinga kanannya. Pandangannya terus mengarah pada teropong sniper, bersiaga saat mangsa malam ini berada dalam radarnya.
Junho mengekeh melihat perempuan sombong nan keras kepala di depannya mengacuhkan peringatan darinya. "Targetmu salah malam ini, jangan pernah merecokinya." Lagi, Junho bersuara.
"Your mission will begin in 10 seconds, position?" Suara perintah berdengung di telinga Clo.
"Arms." Clo bersuara tetapi merespon perintah kerjaannya malam ini.
Junho menarik slide handgun-nya sampai terdengar magazine spring di telinga Clo. "Lima detik, mundur Clo." Tidak mempan, Clo masih bergeming. Semilir angin dingin dari atas rooftop gedung menerbangkan beberapa helai anak rambut Clo. Jelas ini membuat seorang Junho terkesiap melihat pemandangan lain yang tak ia temui di malam pertama pertemuan pertama mereka.
"Target is arriving, shoot the eagle!" Clo sudah siap menarik pelatuknya, sampai todongan senjata di kepalanya terasa.
Gertakan Junho hanya membuat Clo menyeringai sempurna. Kalau seorang tangan kanan melarang, berarti targetnya sekarang adalah kepala yang keluar dari sangkar. "3, 2, 1 shoot!!" Clo tarik pelatuknya bersamaan dengan tembakan yang mengenai tangan kanannya. Clo menjerit kesal, peluru yang baru ia muntahkan meleset dan hanya menyebabkan luka gores di leher musuhnya. Secepat mungkin ia menarik slide spring sniper menggantikan selosong peluru kosong dengan timah panas berikutnya. Meski target sudah berkilat marah mencari sumber biang keladi luka di lehernya, Clo lontarkan lagi peluru kedua yang semakin meleset ke arah lengan kiri target karena adanya hantaman di pelipis kanan Clo.
Clo berdiri dan mengeluarkan Colt 1911-nya, mengganti target pada Junho. Tidak peduli darah turun dari pelipisnya. "Honorku malam ini digantikan dengan nyawamu, Lee Junho!"
"Bodoh! Kau baru minum-minum..." Junho melirik ke arah sebotol soju dekat dengan tas peralatan Clo, "dan melemparkan bensin beserta api ke target yang sangat salah malam ini, Clo." Selesai mencemooh, entah berbicara dengan siapa lewat ear wirelessnya, Junho memberitahu posisi dirinya.
Junho memajukan badannya ke arah todongan senjata Clo. "Tindakanmu terlalu ceroboh tapi permintaanmu akan segera terkabul. Ingin bertemu dengan orang yang mengacaukan duniamu bukan?" Tak berapa lama datang dua laki-laki yang Clo harapkan mereka bertemu lagi untuk membalas tawa mereka di Iran lima bulan lalu. "Perkenalkan Chan dan Woo, dua laki-laki penentu nasib suamimu di Iran." Junho menyeringai melihat wajah Clo dari sombong luar biasa mendadak pucat.
Baru Clo ingin menyerang dua laki-laki di belakang Junho, tubuhnya ditahan. "Not now Princess, rencanamu berantakan kalau memaksakan membunuh mereka sekarang." Junho dekatkan wajahnya ke telinga kiri Clo, "kau ingin bertemu orang di balik ini semua? Pura-pura menyerah sekarang dan jangan membuat masalah." Junho menarik keluar alat dari telinga Clo lalu mendorong tubuh Clo ke Chansung.
Di dalam mobil dengan tangan terikat dan berdarah, Clo duduk memperhatikan tiga orang yang berada sangat dekat dengan dirinya. Rasa penasaran mengalahkan rasa perih dan nyeri dari tangan serta pelipisnya. Mobil berhenti entah di rumah siapa, Clo tidak peduli. Ia memperhatikan Chansung dan Wooyoung turun. Pandangan Clo tidak berhenti berkilat marah, bayangan tawa mereka, jasad Bum, dan situasi di Iran terngiang di benaknya.
Sampai tidak sadar ikatan tali di tangannya melonggar, Junho menarik paksa tangan kanan Clo menyembuhkannya seperti tiga minggu lalu. "Sabar. Bukan mereka jawabanmu. Targetmu malam ini, yang kau cari-cari."
KAMU SEDANG MEMBACA
Blood Shot 21+
FanfictionClo perempuan berbola mata langka dengan warna iris matanya, memutuskan untuk keluar dari satuan ARMY Amerika setelah 15 tahun mengabdi. Alasannya karena hatinya mati rasa dengan asas kemanusiaan setelah melihat pasangannya sendiri yang sedang bertu...