11 | the reasons why

242 150 262
                                    

Hi, welcome back.

Jangan lupa tinggalkan jejak berupa vote dan komen. Kalo suka, jangan lupa dimasukin ke library juga ya.

Note: paragraf italic = flashback



“--Dia di sini. Aku harus pergi. Bye, Han.”

Mia mengucapkan selamat tinggal pada sepupunya lalu mematikan sambungan. Ia meletakkan ponselnya di atas laci sebelum berjalan menuju pintu depan dan membukanya. Mia tersenyum kecil untuk menyambut pria yang telah lama berstatus sebagai sahabatnya.

“Hei.”

“Kau terlihat murung,” kata Rafael. “Apa yang terjadi?” Rafael mendekat dan merangkul Mia. Wanita itu membiarkan dirinya dibimbing menuju sofa.

“Bukan apa-apa,” kata Mia.

“Hei, sebentar lagi Thanksgiving,” ujar Rafael tiba-tiba. “Kau akan pulang ke rumah orang tuamu, 'kan?”

“Ya, kenapa?”

“Hanya ingin memastikan. Dad ingin berkunjung dan merayakannya bersama keluargamu.” Rafael membelai rambut Mia. “Aku juga akan pergi ke sana. Mungkin… kita bisa pergi bersama?”

Ajakan itu mengingatkan Mia akan apa yang terjadi tadi siang bersama Dexter, di mana ajakannya ditolak mentah-mentah oleh sang kekasih.

“Tentu,” jawab Mia setelah beberapa saat termenung. Ia tersenyum jahil. “Haruskah aku berdandan cantik untukmu?”

Pria itu bergeser mendekat, bibirnya tertarik, membalas senyum jahil Mia. “Kau akan membuat semua orang berpikir bahwa kita berpacaran, dan bukannya bersahabat.”

Mia tertawa. Namun tak lama, tawa itu terhenti dan senyum di bibir Mia meluntur. Rafael dapat melihat dengan jelas bahwa sesuatu sedang mengganggu pikiran wanita itu.

“Kau sedang tidak baik-baik saja. Aku bisa melihatnya.” Rafael mengubah posisi duduknya menghadap Mia. Ia meraih kedua tangan wanita itu dan menggenggamnya lembut. “Beritahu aku apa yang mengganggu pikiranmu.”

Mia menghela napas, mengalah. Ia menaikkan kedua kakinya ke atas sofa, memutar posisi duduk menghadap Rafael, lalu bersandar menyamping pada punggung sofa. “Siang tadi, aku mengajak Dexter untuk pergi ke rumah orang tuaku demi merayakan Thanksgiving bersama.”

“Dia menolak ajakanmu?” tebak Rafael setelah memperhatikan ekspresi Mia.

Wanita itu mengangguk. Ia menunduk agar tak perlu menatap iris biru milik Rafael yang seakan dapat melihat menembus jiwanya. “Aku tidak masalah kalau dia menolak. Hanya saja, cara dia menolakku cukup… kasar. Kita sedang makan siang di kafe, dan--“

“Tidak mungkin,” sela Rafael, terkesiap kaget. “Dia menolakmu di muka publik?”

Mia meringis malu. “Dengan suara yang tak bisa dibilang pelan.”

“Itu sungguh tidak etis.” Rafael lalu tersenyum menenangkan. “Tidak perlu dipikirkan. Aku akan ada di sana, ingat? Kita bisa menghabiskan Thanksgiving bersama. Biarkan saja kekasihmu kalau dia tak ingin menghabiskan waktu denganmu.”

Mia tersenyum lesu. Rafael mengerang. “Oh, ayolah, beri aku senyum lebarmu. Apa kau ingin aku memberimu sebuah tebak-tebakan?” tanya pria itu.

Raut Mia sontak berubah jengah. “Tidak.”

Tapi itu tak menghentikan Rafael. “What sound does a witch's car make?” tanyanya.

Sebelah alis Mia terangkat seraya ia menatap pria itu seolah ia sudah lelah mendengar lelucon menggelikan yang dilontarkan Rafael. “Broom, broom,” jawab Mia.

Twisted Fate (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang