Hi!
Jangan lupa tinggalkan jejak berupa vote dan komen. Kalo suka, jangan lupa dimasukin ke library juga ya.
•
•
•Rafael mengulurkan tangan untuk memegangi rambut Mia seraya wanita itu memuntahkan makanannya ke toilet. Ia memijit lembut tengkuk Mia, alis pria itu berkerut cemas.
"Pumpkin? Kau yakin kau baik-baik saja? Apa kau sakit?" tanya Rafael.
Mereka tengah menyantap sarapan ketika wanita itu tiba-tiba berlari ke kamar mandi dan memuntahkan sarapannya. Setelah diperhatikan benar-benar, Rafael menyadari bahwa wanita itu memang terlihat sedikit pucat sejak ia bangun tadi pagi.
Mia mengelap mulutnya dengan punggung tangan lalu duduk di lantai. "Aku tidak tahu!" isaknya.Melihat sahabatnya yang tiba-tiba menangis, Rafael pun berubah panik. Pria itu segera merengkuh tubuh Mia sembari membisikkan kata-kata menenangkan.
"Kepalaku terasa pusing dan aku menjadi mudah mual sejak beberapa hari terakhir. Menstruasiku tidak juga datang. Aku sungguh kesal!" Mia bercerita di tengah isak tangisnya. "Aku sudah meminum obat, tapi tak bekerja banyak."
Rafael memberi punggung Mia usapan melingkar, sesekali ia akan memijit pundak wanita itu, berharap itu bisa membuatnya lebih tenang. "Apa kau ingin aku membawamu ke dokter? Kita bisa pergi bersama dan memeriksakanmu."
Mia mengelap air matanya. "Aku baik-baik saja." Ia menyedot ingusnya lalu menutup wajah menggunakan kedua tangan untuk menghentikan tangisnya. "Aku bisa minum obat. Aku akan baik-baik saja."
"Kau yakin?" tanya Rafael.
"Ya."
"Baiklah, kalau itu maumu."Rafael menyelipkan lengannya ke ketiak Mia dan ke belakang lutut wanita itu, menggendongnya keluar dari kamar mandi. Ia menurunkan tubuh Mia di kasur. Rafael berjongkok di depan wanita itu dan meraih kedua tangannya.
"Aku akan menyuruh Fredrick untuk membawakanmu teh hangat. Tunggu di sini, oke?" Mia mengangguk patuh. Rafael tersenyum lembut. "Bagus." Ia bangun dan memberi wanita itu kecupan hangat di pucuk kepala.
Mia merebahkan tubuhnya, benaknya terus berputar, bertanya-tanya mengenai apa yang salah pada dirinya. Ia mengusap perutnya, tiba-tiba merasa lapar. Perutnya bergemuruh karena Mia memuntahkan kembali sarapannya.
Bau harum jahe tertangkap indra penciumannya sebelum Rafael sempat memasuki kamar membawa nampan berisi segelas teh hangat dan biskuit.
"Fred membuatkan teh jahe," ujar Rafael memberitahu. "Dia bilang ini bisa meredakan rasa mualmu."
Mia menggumamkan terima kasih. "Maaf sudah merepotkanmu," katanya.
"Kau tidak pernah membuatku repot, Pumpkin, berhenti bicara seolah kau adalah beban. Aku akan dengan senang hati membantumu merasa nyaman." Rafael meletakkan nampan di atas nakas dan menyodorkan teh hangat yang dibawanya.
"Aneh," komentar Mia. "Aku bisa mencium jahenya bahkan sebelum kau masuk kemari."
Rafael mengernyit mendengarnya, namun tak menanggapi. Pria itu membelai kepala Mia, menyuruhnya untuk menikmati teh tersebut sebelum berpamitan dan pergi keluar.
Pria itu mengeluarkan ponsel dari saku. Ia mencari nomor calon ibu tirinya, Penny, di deretan kontak ponsel. Setelah berhasil menemukannya, Rafael segera memencet tombol panggil dan menempelkan benda pipih itu ke telinga.
"Rafael? Hai!" sapa Penny.
"Hei," balas Rafael. Ia mendengar suara berisik dari seberang panggilan. "Maaf kalau aku mengganggu. Apa kau sibuk?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Twisted Fate (TERBIT)
General Fiction[ SUDAH DITERBITKAN, BISA DIAKSES/DIBELI LEWAT GOOGLE PLAYBOOK. LINK EBOOK TERTERA DI BIO. ] ----- ㅤ [ BOOK ONE OF THE FATE SERIES ] ㅤㅤ [ 18+ ] Alexander Vangelis kembali ke Brooklyn setelah menghabiskan bertahun-tahun menyusun rencana untuk membala...