Hi, welcome back.
Jangan lupa tinggalkan jejak berupa vote dan komen. Kalo suka, jangan lupa dimasukin ke library juga ya. Happy reading!
•
•
•“Kalian sungguh-sungguh konyol,” komentar Mia. Ia menumpuk kapas kotor itu di meja. “Kenapa kalian tidak memeriksa lipstik itu lebih dulu?”
“Karena--“ sahut Rafael, “Jace terlalu bersemangat dengan ide dirinya yang akan menghukum kami.”
“Ini cukup menyenangkan, kalau kau tanya aku,” sahut Jasper. “Kalau saja lipstik ini mudah dihapus, aku akan memberi mereka tantangan untuk tidur dengan coretan mereka, atau memberi mereka tantangan untuk pergi bekerja dengan coretan lipstik masih ada di wajah mereka.”
Marlo keluar dari kamar mandi. “Phew, syukurlah ada dirimu,” ujarnya seraya berjalan mendekat. “Aku tidak tahu apa jadinya kalau kami berusaha melakukan ini semua sendirian.”
“Ini mengingatkanku pada kita bertiga dulu,” celetuk Rafael tiba-tiba. “Kau ingat? Semasa kau dan Gabby masih kelas satu SMA?”
Mia mengerang. “Ugh, tolong jangan ingatkan aku lagi. Itu ingatan masa lalu yang cukup memalukan.”
“Tunggu, tunggu!” sahut Jace. “Apa yang terjadi? Ada apa dengan mereka? Aku ingin tahu!”
Rafael menahan senyumnya. “Jadi waktu itu--“
“Berhenti bicara sebelum kujejalkan kapas ini ke mulutmu,” potong Mia dengan mata mendelik.
Pria itu mengabaikannya. “Di liburan musim panas waktu itu, adikku, Gabby, memutuskan untuk merias Mia dengan alat make up milik ibuku.”
“Dan bagaimana hasilnya?” tanya Jasper.
Rafael menahan kedua tangan Mia yang berusaha membekap mulutnya. “Dia terlihat jelek,” katanya, menggoda Mia.
“Itu pertama kalinya Gabby mencoba meriasku!” bela Mia. “Wajar saja kalau hasilnya tidak memuaskan!”
“Jadi kau sudah jelek sejak dulu?” ledek Jasper.
Mia mencoba memukul pria itu, tapi Rafael memeganginya erat-erat. “Aku tahu kau jauh lebih jelek dariku waktu kecil, Jacey.” Wanita itu tersenyum puas. “Rafael pernah menunjukkan fotomu waktu kecil padaku. Apa kau masih ingat dirimu waktu berusia sembilan tahun? Ketika kau masih mempunyai model rambut mirip mangkuk dan gigi dipenuhi kawat?”
Mendengar itu, Jasper sontak menoleh pada Rafael yang tengah menahan tawanya. “Bagaimana dia bisa tahu foto itu?” tekan Jasper. “Tidak ada seorang pun yang tahu foto itu kecuali keluargaku.”
“Um,” sahut William. “Mari kita anggap saja kalau aku dan ibumu sering bertukar kabar dan suatu hari dia mengirimkan foto itu padaku.”
Marlo terbahak mendengar hal tersebut. Ia menyikut lengan Jasper, berniat ikut menggoda pria itu. “Itu sebuah tanda, Jasper. Jaga ibumu baik-baik atau William akan merebutnya dari ayahmu.”
“Bajingan tengik. Jika memang itu niatmu, aku akan menghabisimu,” kata Jace sambil melempar bantal sofa pada wajah sahabatnya.
William menangkap bantal itu dan menjulurkan lidah. “Jangan salahkan aku kalau ibumu jauh lebih menyukaiku daripada ayahmu,” godanya.
Mengabaikan pertengkaran kedua sahabatnya, Rafael menarik-narik tangan Mia dengan lembut demi menarik perhatian wanita itu. “Kau belum menyelesaikan pekerjaanmu, Pumpkin,” bisiknya.
Wanita itu menarik napas. Mia mengambil kapas bersih, lalu menghapus sisa cleansing balm di kening Rafael. Pria itu mengamati Mia dalam diam.
“Kau merindukannya?” tanya Rafael.
KAMU SEDANG MEMBACA
Twisted Fate (TERBIT)
General Fiction[ SUDAH DITERBITKAN, BISA DIAKSES/DIBELI LEWAT GOOGLE PLAYBOOK. LINK EBOOK TERTERA DI BIO. ] ----- ㅤ [ BOOK ONE OF THE FATE SERIES ] ㅤㅤ [ 18+ ] Alexander Vangelis kembali ke Brooklyn setelah menghabiskan bertahun-tahun menyusun rencana untuk membala...