🌿 41. Jangan memaksa

2.6K 163 6
                                    

Erlan menganggap semua masalah bisa dia selesaikan dengan uang. Karena sedari dulu memang kemewahan adalah bagian dari hidupnya.

Mendapatkan wanita mana pun bisa saja Erlan lakukan. Tetapi Erlan lebih memilih untuk kembali menjalin hubungan yang sempat terputus dengan Ivona, sayangnya kali ini sepertinya tidaklah mudah. Wanita yang dia cintai sudah berubah.

"Kalau begitu saya pamit pulang," kata Erlan pada keluarga Pras. Pria itu berlalu keluar dari rumah mewah itu.

Dia menghela napas karena tidak bisa bertemu dengan Ivona malam ini, karena menurut keluarga wanita itu, Ivona tidak berada di rumah, entah kemana perginya wanita itu.

Meski Erlan sudah pergi, namun, perasaan Pras tidaklah membaik, pria paruh baya itu tengah memikirkan nasib putrinya.

"Kamu sudah melakukan hal benar," kata Tari pada suaminya, tak melihat bahwa wajah Pras kini sudah muram.

"Diamlah," sentak Pras yang tidak ingin diganggu, dia berjalan menjauh dari keluarganya. Kini rasa bersalah semakin besar.

Selain gagal menjadi ayah yang baik, dirinya juga menjadi ayah yang jahat. Saat mengetahui ini pasti Ivona akan sangat sedih.

Bukan keinginan Pras untuk memaksa putrinya melakukan hal tidak Ivona sukai, akan tetapi keadaan mengharuskan Pras untuk memilih antara perusahaan dan anaknya.

"Ayah," panggilan dari Niko tidak Pras hiraukan. Ia tadi mengikuti Pras karena ingin mengatakan sesuatu.

Niko melihat ayahnya melamun di depan televisi, bahkan panggilan darinya tidak digubris sama sekali.

Melihat ayahnya tengah banyak beban, Niko berinisiatif untuk menghiburnya agar dirinya kembali mendapat perhatian sang ayah.

"Ayah, jangan terlalu dipikirkan, nanti bisa sakit," kata Niko dengan perhatian, berharap kalau ayahnya dapat memaafkan dirinya atas kesalahan memalukan waktu itu.

"Ayah sedang ingin sendiri, lebih baik kamu pergi," ujar Pras tanpa menoleh.

Niko sudah menduga akan mendapatkan respon yang tidak baik, tapi bukan Niko namanya kalau dia menyerah begitu saja pada ayahnya.

"Aku ingin menemani Ayah di sini," sahut Niko dengan penuh perhatian.

Pras menghela napas panjang, dia mengusap wajahnya kasar. Kepalanya mendadak pening, dia tidak tahu harus mengatakan apa pada putrinya.

"Menurutku tindakan Ayah sudah benar, Ivona pasti akan bahagia kalau bisa bersatu kembali dengan Erlan," ucap Niko, tanpa memandang kalau ayahnya sudah tidak ingin mendengarkan dirinya lagi.

"Lebih baik kamu tutup mulutmu, Ivona sudah banyak menderita selama ini, entah bagaimana Ayah harus mengatakan hal ini padanya," sahut Pras.

"Kalau Ayah tidak bisa mengatakannya, biar Niko saja yang mengatakan pada Ivona tentang pertunangan itu," ujar Niko.

"Kamu akan semakin membuatnya menderita saja," ucap Pras tak setuju, karena dia tahu kalau hubungan anaknya tidaklah akur selama ini.

Pras awalnya berpikir Ivona akan menerima keberadaan keluarga barunya seiring dengan berjalannya waktu, tetapi dugaannya salah besar, mereka malah kini semakin menjauh dan saling membenci.

"Lalu Ayah mau bagaimana lagi? Kalau kita tidak menuruti permintaan Erlan, perusahaan Ayah diambang kehancuran," kata Niko mencoba menyadarkan ayahnya. Niko pikir ayahnya lebih mencintai hartanya ketimbang dengan putri kandungnya.

Mendengar perkataan Niko semakin menyadarkan Pras, kalau keadaan keluarganya memang sudah tidak terkendali lagi. Apa kini Pras sudah berubah menjadi jahat karena mengorbankan perasaan putrinya lagi.

Dulu, dia menyakiti putrinya dengan fakta bahwa dia berselingkuh dari istrinya, dan kini sekali lagi Pras akan membuat perasaan Ivona terluka.

"Tinggalkan Ayah sendiri," kata Pras.

Niko menghela napas, dia merasa kalau ayahnya kini tidak akan pernah mendengarnya lagi.

***

Di lain tempat, kini Ivona terbangun dari tidurnya dengan perasaan yang merasa tidak tenang. Dia baru saja mimpi buruk.

Ivona mengusap wajahnya, dia melirik tempat di sebelahnya, di mana Dante tengah tertidur dengan lelap. Ivona tidak akan mungkin tega untuk membangunkan Dante hanya untuk menemani dirinya.

Tangan Ivona meraih gelas yang sudah disediakan di nakas samping tempat tidurnya. Wanita itu meneguk minumannya sampai tandas.

"Aku tidak akan bisa tidur lagi," gumam Ivona pada dirinya sendiri. Dia kini merasakan kesulitan untuk memejamkan mata.

Dengan perlahan-lahan, Ivona turun dari tempat tidur, kakinya menyentuh lantai yang dingin, dan dia berjalan menuju balkon kamarnya.

Ivona kini duduk di balkon sendirian menatap langit malam. Sesekali dia menggigil kedinginan. Namun, sudah tahu kedinginan dia masih saja tak beranjak dari tempat duduknya.

Di ranjang, tangan Dante mencari-cari keberadaan tubuh Ivona agar bisa dipeluknya. Namun, nihil. Dante tidak merasakan kehadiran seseorang di sebelahnya.

"Sayang." Dante langsung membuka matanya lebar-lebar, dan benar saja saat membuka mata dia tidak melihat wanitanya.

Sontak saja Dante merasa panik, sudah larut malam dan Ivona menghilang.

Seketika Dante tersentak saat merasakan angin masuk ke dalam kamarnya, dan dia baru menyadari bahwa pintu balkon kamarnya terbuka.

"Sayang, kamu di mana?" panggil Dante, pria itu segera turun dari ranjang dan melangkah menuju balkon kamarnya.

Dante melihat Ivona yang tengah duduk di kursi yang disediakan di balkon, rupanya wanita itu kini sedang melamun.

"Kenapa kamu di sini?" tanya Dante yang ikut duduk di sebelah Ivona.

"Dante?" Ivona menoleh dengan cepat saat merasakan pelukan hangat, dia melirik Dante yang sedang memeluknya dari samping.

"Kenapa kamu di sini?" ulang Dante lagi karena tak kunjung mendapatkan jawaban.

"Aku tadi mimpi buruk, aku tidak bisa tidur lagi," sahutnya pelan, dia balas memeluk Dante dengan erat.

"Kenapa tidak membangunkan aku?"

Ivona menggeleng, dia tidak mau mengganggu Dante yang sedang tertidur dengan pulas.

"Aku tidak mau mengganggu tidurmu," ucap Ivona pelan, ia sudah mulai kedinginan.

"Lebih baik kita masuk, Sayang. Badan kamu dingin," kata Dante yang merasa khawatir.

"Aku masih mau di sini," kata Ivona merengek manja. yang tentu saja tidak disetujui oleh Dante.

"Aku tidak mau kalau kamu sakit," kata Dante yang kemudian menggendong Ivona di depan tubuhnya seperti anak kecil, pria itu membawa tubuh Ivona menuju ranjang.

"Tunggu di sini, aku akan membuatkan teh hangat," ujar Dante yang kini keluar dari kamar tidur, bahkan sebelum Ivona protes pada pria itu.

Selang beberapa menit, Dante masuk kembali ke dalam kamar, pria itu membawa dua cangkir teh hangat.

"Sepertinya kamu cocok menjadi pelayan pribadiku," kata Ivona bergurau.

Dante menyerahkan cangkir teh hangat itu pada Ivona, pria itu duduk dia sebelah wanitanya seraya menyeruput teh hangat miliknya.

"Boleh juga, jadi aku bisa melayanimu seumur hidupku," ucap Dante seraya terkekeh geli.

"Itu terdengar sangat menyenangkan," balas Ivona yang juga menikmati teh buatan dari prianya.

"Apa sudah merasa lebih baik?"

"Iya, lumayan. Kini aku merasa sudah lebih baik," balas Ivona, "aku merasa akan ada hal buruk yang terjadi padaku," lanjutnya.

"Jangan takut, kamu sudah punya aku sekarang."

Ivona tersenyum, perkataan Dante mampu membuatnya sedikit lebih tenang.


***

TBC.

Jangan lupa untuk tinggalkan jejak gaes:)

Crazy Over You 21+ [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang