36. Unknown Number.

445 106 15
                                    

"Mamaaaaa!" Vaness memanggil sang Mama saat masuk ke dalam rumah dengan riang. Sangat berbanding terbalik dengan mood  nya beberapa saat yang lalu saat Natan memutuskan untuk memajukan jam pulang mereka. 

Natan ikut masuk di belakang Vaness tapi terhenti di ruang tengah karena tidak mau mengganggu Vaness dan Mama nya yang sedang melepas rindu. 

"Temen lo sama Vica sampai kita langsung balik, nih?" tanya Vian yang baru saja duduk di sofa, berhadapan dengan Natan. Ah, iya. Jevan dan Vica memang mendapat tugas membeli oleh-oleh. 

Natan mengangguk singkat.

"Eh.." Vanna masuk dari pintu celingukan. "Vaness mana? Mobil Tante mau dimasukkin ke garasi diganti mobil gue soalnya. Gue mau minta kunci mobil nya." 

"Di dalem, ruang tengah kayaknya." jawab Natan dan Vanna pun berjalan santai menuju ruang tengah. Natan, sang kakak hanya menggelengkan kepala.

Vian bangkit berdiri, "Gue keluar dulu, ke Lucky." ujar cowok itu dengan dua jari diposisikan dibibir. 

"Gue kira lo engga," kedua cowok itu terkekeh pelan, mereka sudah lebih akrab. "Gue rajin scrub bibir disuruh Vaness, supaya nggak item katanya, hahaha. Cewek yang lo suka itu ada-ada aja, Nat."

Natan baru akan menjawab tapi diinterupsi oleh kedatangan Vaness.

"Akrab amat? Ngomongin gue, ya, kalian???" cibir Vaness menodong. Cewek itu datang dengan sang Mama. 

"Iya, kenapa masalah?" jujur Vian, memeluk Qia sesaat lalu keluar rumah.

Vaness mencibik, "VIAN NYEBELIN!" 

Natan sedikit terkejut mendengar pekikan dengan suara manja Vaness, ah, efek sedang bersama sang Mama jadinya Vaness seperti itu. Pandangan Natan bertemu dengan pandangan Qia, tatapan cemas itu tidak tertutup meski Qia sedang tersenyum.

"Udah pulang, Tante?" Natan menyalimi Qia. 

"Iya, nih, Natan. Kata Vaness udah mau pulang, ya? Kok cepet banget sih? Nggak mau nginap aja disini?" 

Natan melirik Vaness yang cemberut dan buang muka, lalu menjawab pertanyaan Mama Vaness itu dengan senyum, "Iya, Tante. Kalo Natan lagi nggak bisa, Tante, kalau Vaness mau nginap Natan ngga tega kalau dia pulang naik kereta."

Iya, nggak tega adalah alasan bagus dibanding terus terang bilang kalau itu nggak aman. 

Vaness berdecak sebal, "Apaan nggak tega! Orang aku  bisa pulang pake taxi online juga!" diluar sih Vaness kelihatannya sebel ya, padahal didalam hati Vaness udah seneng banget Natan khawatir sama dia. Dasar Vaness gengsian!

"Tetep nggak tega, Ness." ujar cowok itu. Natan bingung bagaimana cara bujuk nya. Nggak bisa ngomong manis apalagi ada Qia ditengah-tengah mereka.

Qia hanya terkekeh melihat perdebatan kecil itu. "Emang ngambekan dia, Atan. Tunggu, ya, Mama bungkusin lauk biar di Kos nggak usah ribet masak. Temen nya Atan siapa aja yang nge-kos?"

"Kak Erric, Mam. Es buah nya tolong bungkusin juga dong, Mam, buat Kak Jevan sama Lavica."

"Mama bungkusin buat semua aja deh, tunggu, ya."

Sepeninggalnya Qia ke dapur, Vaness mengambil duduk di sofa panjang yang sama dengan Natan, mereka sama-sama duduk diujung sofa. Vaness sok sibuk dengan ponselnya sementara Natan kebingungan harus bagaimana menghadapi Vaness yang sedang dalam mode ngambek 'benaran' nya.

Natan berdeham, "Ness?"

Yang dipanggil semakin menyibukkan diri dengan ponselnya. "IH, JAEMIN AAAAA GANTENG BANGET GILA, HHHH PUSING!!!"

Mas Natan ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang