0.8

231 38 4
                                    

Aku menutup pintu kamarku dan menguncinya. Aku mendudukan bokongku ke kasur dan memikirkan perkataan Bang Ezra tadi. 

"Kalo pulang malem kabarin gue?" gumamku sembari melihat kearah pintu, 

Maksudnya gimana? 

Masa iya, Bang Ezra mulai simpati sama aku karena obat? 

Nggak mungkin. 

Aku menidurkan tubuhku ke kasur, dan segera memeremkan mataku. Namun tidak berhasil dan berakhilah aku disini. Di meja makan dengan sebuah piring dan juga mie instan yang aku masak. 

Jangan tanyakan mengapa aku makan lagi, padahal tadi sore sudah makan dengan Haikal. Saat inilah yang penting untu merelaksasikan stress dengan makanan. 

Aku menikmati mie instan itu sembari memainkan ponselku, tentu saja memainkan aplikasi burung biru yang sering aku gunakan untuk mencari informasi serta berpamer riya. 

"Belom tidur, lo?" tanya seseorang sembari menuang air minum di gelas, sudah tau kan siapa dia? 

iya, Bang Ezra. 

"Belum, engga bisa tidur." jawabku sambil menyeruput mie instan. 

"Abang kenapa belum tidur?" tanyaku balik, 

Bang Ezra menarik kursi meja makan yang berada di sebelahku, lalu menaruh gelasnya. 

"Baru beres kerjaan" 

Aku mengaggukan kepalaku mengerti akan jawaban yang di berikan abangku. 

Hari ini, terasa aneh. 

Aku terus memakan mie instanku hingga habis, dan tidak ada pembicaraan antara aku dan Bang Ezra, alias hening. 

"Obat yang lo sembunyiin, itu punya lo kan?" 

Uhuk! 

Weh, apa-apaan ini?! 

Bang ezra memberikan gelasnya kepadaku, dan aku langsung meminumnya. 

"Maksud, abang?" 

"Obat yang lo sembunyiin waktu gue nangkep basah lo, obat yang lo bilang punya temennya Tante Ira, obat yang lo bilang vitamin itu, obat lo kan" ujarnya sembari menatap mataku. 

"B-bukan" jawabku terbata-bata, 

"Tatap mata gue" 

"Gue engga bisa lo bohongi, Naya. Sejak kapan lo minum obat itu?" tanyanya yang terus menatap mataku, 

"Gue udah dengar semua dari Bibi Maria, sekarang giliran lo yang kasih tau gue." paksanya dengan tegas. 

Oh, jangan, jangan pingsan saat ini, please. 

Aku menyingkirkan piring yang bewarna putih itu menjauh dari hadapanku, 

"Ya, itu obat Naya." jawabku sembari menatap mata Bang Ezra dan juga menahan sakit di daerah dada. 

"Kenapa baru sekarang?" 

"KENAPA BARU SEKARANG ABANG SADARNYA?" 

"A-apa selama ini Naya engga terlihat seperti orang sakit? oh, Naya lupa. Kalian engga ada yang peduli sama adiknya." ketusku sembari terus menahan sakit di hati, di dada. Namun, tidak untuk air mata. 

"Apa ini alasan Abang tiba-tiba baik ke Naya? Apa ini alasannya Abang suruh Naya untuk kabari Abang kalau Naya pulang malem? APA INI ALASANNYA?!" 

"YA, LO ENGGA BEGO BANG, TAPI LO BUTA!" teriakku sembari mengeluarkan air mata yang sudah terbendung di pelupuk mataku. 

"Apa lo tau bang, gimana rasanya sembunyiin ini semua selama ini? apa lo tau, rasa sakitnya ketika lo,Bang Alva, Bang Henry menganggap gue sebagai hantu dirumah ini? Apa lo, merasakan bolak - balik rumah sakit yang sama hanya buat obat 30 butir?"

Twice (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang