2.0

96 21 1
                                    

"Arthur, tolong saya" pinta seseorang dengan suara baritonnya.

"Nggak bisa begini, Marco."

"Nggak bisa gimana, Arthur?"

"Kamu minta perusahaan saya untuk di merger karena perusahaan kamu akan runtuh, bukan?" tanya satu orang lagi dengan suara bassnya.

Orang yang bernama Marco itu terdiam membuat Arthur tersenyum miris,

"Saya percaya sama kamu, Marco. Saya setujui merger ini karena kamu beralasan dengan persahabatan kita. Tapi apa? 90 persen kekuasaan berada di tangan Mage? kamu memang egois, Marco" marah orang itu lalu meninggalkan Marco sendirian di sana.

Marco mengambil ponselnya, "Jalankan plan B. Hancurkan keluarga ini, sehancur hancurnya"

"NAYA!" teriak seseorang yang membangunkan tidurku.

"Lo kenapa?" tanya Bang Dipta menempelkan tanganya ke dahiku.

Aku menggelengkan kepalaku. Sebentar, tadi aku mimpiin siapa?

Siapa Marco?
Siapa Arthur?
Siapa Mage?

"Pamali bengong pagi pagi, loh" ucap Bang Dipta dengan membawa segelas air putih dan memberikannya kepadaku.

"Mikirin apa sih?" tanyanya.

Tanya dia tidak ya?

"Bang, Marco, Arthur itu siapa?" tanyaku. Bang Dipta terlihat berfikir,

"Karakter Marvel, bukan?" tanyanya balik yang membuatku menghembuskan napasku dan segera turun dari kasur dan keluar dari kamar tanpa memperdulikan Bang Dipta.

"Pagi, Bibi!" seruku kepada Bibi Maria yang sedang menyiapkan sarapan,

"Pagi sayang. Sapa abang-abangmu gih" ucap Bibi Maria. Iya, sekarang jadwal ketiga abangku menginap di rumah Bibi.

"Pagi, Bang" sapaku malas. Ketiga abangku menjawab dengan senyuman sumringah, oh kecuali Bang Alva.

Saat Bang Henry mengetahui penyakitku, dia berlagak seperti tidak mengetahui dosa dosanya kepadaku. Ia berubah 180 derajat dalam sehari. Dan itu membuatku muak, semuak muaknya.

Memang saat tahu dia sedikit marah,  sama seperti Bang Ezra yang marah lalu berubah menjadi seorang kakak yang sangat baik kepada adiknya.

Aku juga meminta Bang Henry untuk menutup mulutnya dan tidak memberitahukan Bang Alva mengenai penyakitku. Memang ini salahku sih, harus pingsan di pelukan Bang Henry, padahal ada si Alva di sana dan dia tetap tidak peduli dengan adiknya yang berlari ke pelukan Henry dan pingsan begitu saja.

Menurut informasi yang aku dapatkan dari Bang Henry. Setiap aku pingsan di sekolah, mereka berdua dan temannya hanya berpikir aku hanya kelelahan. Dan aku di larang ikut olahraga mereka juga berpikir aku memang anak mamah yang tidak ingin terkena panas.

Memang agak aneh, abang abangku itu.

"BUNDA, NAYANYA NAKAL!" teriak seseorang dari lantai atas dan berlari menuju pelukan Bibi. Iya, itu Bang Dipta.

"Dih, gue aja terus yang lo salahin" decakku.

"Lo engga sekolah?" tanya Bang Ezra saat mengetahui aku tidak memakai seragam sekolahku, sementara abang abangku sudah rapih.

"Engga, gue mau deep talk sama Bibi" jawabku seadanya.

"Lo sakit?" tanya Bang Henry dengan memegang dahiku.

Aku menepis tangannya, "Kaga, elah"

Aku mengambil piring yang tersedia di meja makan dan mengambil sarapanku.

Twice (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang