3.7

45 9 12
                                    

Sudah tiga bulan sejak aku bertemu dengan ayah Ivana. Dan hari ini adalah hari yang bersejarah untuk kedua abangku dan Haikal. Benar, hari ini adalah hari kelulusan mereka. Suasana di rumah Bibi juga kacau, semua sibuk menyiapkan busana untuk kelulusan Bang Dipta. Iya, dia juga lulus hari ini. 

"Kamu yakin nggak mau bareng sama paman, nak?" tanya paman kepadaku. Aku menggelengkan kepala, 

"Nggak, paman. Nanti Naya mau ke salon, baru kesana. Toh acaranya juga jam sepuluh." jawabku memasukan sepotong roti kedalam mulut. Paman mengangguk mengerti, lalu mengusapkan tangannya ke kepalaku dan menciumnya. 

"Kalau gitu, pamann sama Bibi pergi dulu ya!" pamit Paman. Aku tersenyum dan melambaikan tanganku. Memang, untuk keluarga, mereka harus datang duluan karena ada sesi foto dan ramah tamah baru acara utama di mulai. 

Aku berjalan menuju jendela yang mengarah ke parkiran mobil, dan melihat mobil paman yang sudah tidak terlihat. Aku menunggu sekitar lima menit, dan mereka tidak kembali. Berarti, mereka tidak kelupaan membawa barang. Dan saat ini juga aksiku di mulai. 

Aku menaruh piring kotor ke tempat cucian piring. Lalu berjalan menuju ruang kerja paman. Aku berharap, ini tidak dikunci. Karena biasanya, ruangan ini selalu dikunci. 

cklek.. oh, tidak di kunci. Paman sangat ceroboh rupanya. 

Aku memasuki ruangan itu. Ruang kerja yang tertata dengan rapih, buku - buku yang tertumpukpun terlihat sangat rapih. Aku ingat perkataan Om Marco beberapa bulan yang lalu. 

Tiga bulan yang lalu, Cafe Za.

"Ada yang ingin om bicarakan sama Naya?" tanyaku to the point.

"Ada. Dan saya mohon untuk tidak memotong pembicaraan saya" ucapnya. Aku menganggukan kepalaku,

"Perusahaan dan nyawamu terancam, Naya" ucapnya menatapku dengan serius. 

"Maksudnya, om?" tanyaku, 

"Ambil berkas yang kamu titipkan, jika belum terlambat, kamu bisa mencegah pembalikan nama perusahaan Arthur. Tetapi jika sudah terlambat, ambil semua itu dan serahkan ke Ezra. Apapun yang kamu lihat saat kecil, hanyalah sebuah kesalahpahaman. Saya dan Arthur memang berselisih, tetapi saya tidak mungkin membunuh sahabat saya sendiri." jelasnya, 

"Jadi, pembicaraan yang Naya dengar dari om dan papa, adalah sebuah kesalahpahaman saja?" tanyaku memastikan yang aku dengar tadi, 

Om Marco menganggukan kepalanya, "Benar. Memang, saya pernah membunuh karyawan saya sendiri, dan saya sudah mendapatkan hukuman dari Arthur. Dan saya mohon maaf atas kejadian yang lalu" ucapnya dengan ekspreksi menyesalnya. 

Lalu Om Marco kembali menceritakan tentang masa lalunya bersama dengan Papa. 

Aku menulusuri loker yang ada di ruang kerja paman, dan membukanya satu persatu. Dan loker itu tidak ada yang terkunci sama sekali. Paman ceroboh sekali. Setiap isi di loker aku cek satu persatu, hingga tibalah aku di salah satu loker yang terkunci. Satu satunya loker yang terkunci hanyalah ini. Aku membutuhkan kunci, aku harus mencari kunci dari loker ini. 

Bukan Naya namanya jika tidak mengetahui tata letak rumah ini. Ayolah, aku sudah tinggal di rumah ini sejak aku di asingkan oleh ketiga abangku, dan aku tahu betul tata letak rumah ini, bahkan ruang rahasia yang berisi anggur lamapun aku tahu. 

Aku menuju meja kerja paman, dan menyingkirkan tumpukan kertas yang ada disana. Terpampanglah satu laci kecil yang ada di atas meja. Meja ini di desain dengan laci rahasia, terlihat laci biasa, tetapi jika di buka, maka akan banyak rahasia di sana. Laci ini berisikan tumpukan pisau lipat koleksi paman, dan disalah satu pisau lipat itu terdapat kunci loker. Benar, paman mendesain tempat kunci itu seperti pisau lipat. 

Twice (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang