3.5

44 8 0
                                    

 "Gue kasih pilihan. Lo tinggal disini dan hidup bareng kita bertiga, atau lo hidup di rumah Bibi, tapi hilang kontak dari kita bertiga. Gue tunggu jawabannya besok pagi." tekannya di hadapan kedua abangku yang lain serta ART yang berada di ruang makan. 

Aku tertegun mendengar pertanyaan yang keluar dari mulutnya. Jujur saja, aku sangat percaya kepadanya. Tetapi aku tidak pernah menyangka, pertanyaan itu akan terulang kembali untuk kedua kalinya dari mulut yang sama. 

Iya, Abangku itu pernah mempertanyakan, pertanyaan yang sama saat aku kecil. Tepatnya saat aku di temukan di rumah sakit. Saat itu aku masih terbaring di ranjang. Mereka tidak mengetahui masalah kelainan yang terjadi pada jantungku. Yang mereka tahu, aku hanya selamat dari kecelakaan yang mengenaskan itu dan butuh perawatan karena luka-lukaku. Bang Ezra datang bersama dengan keluarga Kato. Ia menghampiriku tanpa meneteskan satu tetes air matapun. Matanya memang sayu, tetapi tatapannya berubah menjadi tatapan yang ingin membunuh ketika ia menatap diriku. Di saat itu juga, ia menanyakan hal yang sama seperti ini. 

"L-lo, jahat." gumamku seraya menatapnya.

Bang Ezra berhenti memakan makananya. Ia menatapku. Tatapan itu, sudah kembali. "Sepertinya, lo harus jawab pertanyaan itu saat ini juga." ujarnya dingin. 

Ia terus menatapku dengan dingin. Tatapan yang mengitimidasi itu membuatku merinding. 

"Kenapa lo begini, bang?" tanyaku menahan air mata yang mulai terkumpul. 

"Tinggal bareng kita di rumah ini, atau tinggal dengan mereka dan lo kehilangan kita, lagi" tanyanya mengulangi pertanyaan yang ia tanyakan tadi. Aku melupakan kalau abangku satu ini sangat keras kepala. 

"Pilihan ada di tangan lo. Benar dan salah tergantung pilihan yang lo pilih" jelasnya yang membuatku terdiam. Jujur saja, aku ingin tinggal bersama mereka, tetapi aku tidak ingin meninggalkan Bibi. Aku harus bagaimana? Aku harus pilih yang mana?

"Kalau N-naya pilih opsi yang kedua, apa yang terjadi?" tanyaku padanya. 

Bang Ezra tertawa sinis, "Orang yang sayang sama lo, akan pergi untuk kedua kalinya" jawabnya dengan menaruh dagunya diatas tangan yang ia naikan diatas meja. 

"Kalau gue pilih opsi pertama?" tanyaku, lagi. 

"Sampah sampah itu akan pergi dari hidup lo" jawabnya dingin. Tadi dia bilag apa? Sampah? 

"Sejelek itukah citra Bibi ke lo, bang?" 

"Memang seperti itu. Udahlah. Gue tunggu jawaban lo besok pagi, sebelum lo berangkat sekolah" ujarnya dan meninggalkanku di ruang makan bersama dengan Bang Alva dan Bang Henry. Oh, ternyata aku di tinggal sendiri. Karena abangku yang lain juga ikut pergi meninggalkanku. 

Bukankah, jika seperti ini terus aku yang akan pergi meninggalkan keluarga ini? Memang, aku dulu ingin sekali berada di keluarga ini kembali. Tapi tidak seperti ini. Sepertinya aku sudah tau aku harus menjawab kemana. Aku tidak akan menyesal dengan jawabanku. 

Aku meninggalkan piringku yang sudah kosong itu, dan segera menuju kamarku. Saat ingin menaiki tangga terakhir, aku melihat Bang Alva yang bersender di depan pintu kamarku. 

"Ngapain?" tanyaku menghampirinya. 

Bang Alva melepas tangannya yang menyilang dan menghadapkan dirinya kepadaku. "Gue harap, lo mikir mateng dengan pilihan lo. Karena kalau sampai salah, lo akan menyesal" ujarnya dengan menepuk pundakku. Tumben sekali, bukan seperti Bang Alva pada biasanya. 

Aku tidak menggubris perkataannya. Aku segera masuk kedalam kamar dan mengambil koper-koperku dan mulai memasukan barang - barangku. Aku kembali teringat akan sesuatu, semenjak kedatangan paman beberapa hari yang lalu, Bang Ezra kembali seperti sifatnya, ia mulai rajin ke kantor, dan tidak banyak bicara. Apa benar yang dikatakan para abang itu benar? 

Twice (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang