"Naya kesini, nggak?" tanya gue yang malah membuat mereka bertanya tanya,
"Bukannya lo bawa balik?" tanya Henry dengan mata sayunya,
Gue menggelengkan kepala dan menjelaskan situasi yang terjadi kepada mereka. Sontak mereka berdua terpenjat kaget.
"Terakhir lo liat dia, pas di mobil, kan?" tanya Alva. Gue menganggukan kepala,
"Berpencar. Henry lo kesana, Haikal lo kesana, gue kesana. Aktifin semua ponsel lo, ketemu nggak ketemu, saling kabarin!" seru Alva dan kami bertiga segera berpencar mencari Naya ke penjuru lorong rumah sakit yang megah ini.
Gue terus berlari menyelusuri lorong gedung rumah sakit yang sudah sepi, bahkan gue juga meminta bantuan kepada satpam yang bertugas untuk membantu gue dan kedua saudara itu. Panik, kami semua panik. Ponsel cewe itu tidak aktif sama sekali, dan tak jarang juga ponsel gue tidak mendapatkan sinyal yang membuat komunikasi antara gue dan kedua saudara itu terhendat.
"Gimana, ketemu?" tanya Alva dari saluran telepon itu. Gue dan Henry sama - sama menjawab tidak, bahkan satpam yang membantu kami juga tidak menemukan adanya gadis yang menyendiri, atau yang sesuai dengan foto yang gue berikan.
"Kumpul di depan IGD, sekarang. Kita nyusun strategi disana!" seru Alva lalu mematikan telepon yang terhubung itu. Kami bertiga memang panik, tapi bisa dilihat, yang lebih panik dan khawatir adalah Alvaro. Mungkin ia takut menyesal.
Saat ini kami bertiga sudah berkumpul di depan ruang ICU. Sesaat kami berkumpul di ruang tunggu IGD, kami di informasikan bahwa Bang Ezra sudah di pindahkan di kamar ICU, karena butuh perawatan yang serius. Kondisinya saat ini adalah koma, otaknya masih bekerja, namun sudah tidak bisa merespon apapun. Itulah kenapa ia perlu mendapatkan perawatan yang lebih intensif disana. Setelah itu, kami menunggu di ruang tunggu keluarga yang disediakan, dan menyusun strategi mencari Naya.
Kami bertiga sudah menelepon kerabat dekat Naya, dari Kato, Ivana, Dewa, Dipta, namun mereka semua juga tidak mengetahui keberadaan Naya.
"Satu satunya jalan, kita minta bantuan ke Om Raxel." ujar Henry. Om Raxel?
"Bokapnya Sadewa, temennya Naya." ucap Alva mengetahui mimik muka gue yang kebingungan,
"Dia siapa emangnya?" tanya gue,
"Bokapnya Sadewa, dibilang." jawab Henry yang membuat gue geram.
"Iya gue tau, dia bokapnya Dewa. Maksud gue, dia itu siapa? Sampe lo nyaranin minta bantuan ke dia" jelas gue kepadanya. Henry hanya menganggukan kepalanya,
"Keluarga dia punya geng turunan, jago berantem dan jago ngapain aja. Kita bisa minta bantuan sama gengnya dia." jelas Henry menyeruput kopi hangatnya yang ia beli di mesin kopi otomatis.
"Gue hubungin sekarang." ujar Alva mengeluarkan ponselnya dan berbicara dengan Om Raxel, yang tidak aku ketahui asal usulnya.
"Dia temen nyokap bokap. Dulu mereka satu kampus, dan tante Adena sama nyokap temen deket. Jangan khawatir kalo dia bakal nolak, justru Naya udah di anggap kayak anak sendiri sama mereka. Waktu nyokap, bokap meninggal, mereka dan keluarga bibi yang bersedia untuk jadi wali kita bertiga. Tapi karena Bibi Maria masih satu darah sama kita, makanya mereka mundur dan mantau kita dari jauh." jelas Henry. Gue hanya mengangguakan kepala mendegar penjelasan dari sohib gue, yang matanya sudah merah dan berkantung hitam itu.
Tak lama dari itu, Alva mematikan ponselnya. "Mereka bersedia. Om Raxel lagi minta anak buahnya untuk menyelidiki kemana perginya Naya. Kita sekarang disuruh kerumahnya untuk istirahat disana. Bang Ezra bisa kita tinggal sebentar sampai Naya ketemu, kemungkinan Tante Adena yang akan jaga abang" ujar Alva panjang lebar. Gue dan Henry menganggukan kepala, lalu segera menuju mobil masing-masing dan berangkat menuju rumah Sadewa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Twice (END)
Teen FictionNaya mencoba untuk mencari tahu kebenaran tentang kematian kedua orang tuanya. Namun dirinya tidak bisa melangkah lebih dikarenakan penyakit yang ia punya. Apakah Naya bisa menyelesaikannya? Bagaimana dengan percintaan dimasa remajanya? Dan bagaiman...