3.4

50 6 0
                                    

"Naya, ada rencana?" tanya pamannya dari sana. 

Gadis itu menganggukan kepalanya, walaupun pamannya tidak melihatnya, ia tetap melakukan itu. "Hari ini, Naya mau kepuncak bersama Mama, Papa dan abang. Tetapi karena hujan, di tunda. Untuk hari ini, Naya mau paksa mama dan papa untuk berangkat terlebih dahulu ke puncak. Abang - abang akan nyusul bersama dengan Pak Doleh, besok." jawab gadis kecil itu dengan suara imutnya, 

"Sesuai rencana, paman akan simpan surat itu sampai ezra dewasa. Janji sama paman, kamu akan baik - baik saja" sahut pamannya. Gadis itu mengangguk dan mengucapkan terima kasih kepada pamannya lalu menutup saluran telepon itu. Ia berlari menuju kamarnya untuk melihat surat yang ia ambil tadi sudah aman atau belum, ketika sudah ia langsung berlari menuju kedua orang tuanya yang sedang meminum teh di ruang keluarga. 

"Ayah, Bunda ayo kita ke pun--" 

Deg! Aku barusan mimpi apa? Nggak mungkin kan ini mimpi yang tidak sengaja? 

Aku beranjak dari tempat tidur dengan sempoyongan dan berlari menuju kemar Bang Ezra. Dengan tangan yang masih lemas, aku mengetok pintu kamar itu dengan keras, dan tak lama Bang Ezra membuka pintu itu dengan menggunakan piyama dan rambut yang berantakan ala bangun tidurnya. 

"Kenapa?" tanyanya, 

"Naya abis mimpi, Mama dan papa" ujarku, Bang Ezra hanya menatapku. 

"Masuk" ujarnya dengan membuka lebar pintu kamarnya. Aku memasuki kamar yang baru pertama kali aku masuki. 

Aku tertegun saat memasuki kamarnya, foto masa kecil kami masih ia pajang disana, bahkan foto kelurga. Suasana kamar Bang Ezra sangalah adem, ia tipe cowo yang rapih, bahkan tidak ada satupun barang yang berserakan di kamarnya. Berbeda dengan kamarku. 

"Duduk. Ceritain mimpi yang lo maksud tadi" ujarnya lalu duduk di pinggir kasur kingnya. 

Aku menduduki sofa yang ada tepat di depan kasurnya. Lalu menarik napas dan mulai menceritakan mimpi yang aku alami semalaman. Bang Ezra hanya diam dan mendengarkan ceritaku dengan seksama. 

"Jadi, lo masih berpikir Bibi jahat?" tanyaku kepadanya. Ia terdiam tidak menjawab. 

"Lo beneran masih berpikiran kayak gitu, Bang? Setelah apa yang di lakukan keluarga Bibi ke kita?" tanyaku lagi. 

Bang Ezra menarik napasnya dan mengembuskannya. "Mending sekarang lo keluar. Udah jam segini, nanti lo telat" ujarnya lalu meninggalkan aku sendiri di kamarnya. Iya, dia keluar dari kamar dan entah menuju kemana. 

Aku tidak lengah untuk memberitahunya tentang kebenaran. Aku bangkit dari dudukku dan mengejar Bang Ezra yang pergi menuju ruang makan yang sudah ada Bang Henry dan Bang Alva yang sudah lengkap dengan atribut sekolahnya. 

"Lo beneran berpikir kaya gitu, Bang?" tanyaku mendekati dirinya. Aku tidak memperdulikan para abang yang lain melihat tingkah anehku. 

"Lo nggak sekolah?" tanya Bang Ezra dengan menuang serealnya. Aku menggelengkan kepalaku, 

"Enggak, sampe abang percaya" desakku kepadanya. Abangku itu tidak menggubris desakkanku. Malah ia asik memakan serealnya tanpa menawarkannya kepadaku. 

Kira - kira sudah lima menit aku mendesak Bang Ezra, bahkan para abangku yang lain sudah selesai dengan sarapannya dan berpamitan kepada kami. Iya, aku memutuskan untuk tidak sekolah. 

Saat para abang tidak terlihat lagi, tiba - tiba Bang Henry berlari dan membisikan sesuatu kepadaku. Aku tertegun sebentar, pasalnya ia membisikan sesuatu yang membuatku harus memutar otak untuk membujuk Bang Ezra. Setelah selesai itu, Bang Henry mengedipkan sebelah matanya dan memberiku semangat. Ayo Naya, kalau harus ada pertumpahan darah sekalipun, aku tidak akan lengah!! 

"Abang udah selesai?" tanyaku kepadanya. Ia tetap diam tidak menjawabnya. Aku terus mengikutinya kemanapun ia pergi, bahkan ke toilet sekalipun... Maksudnya aku menunggu di depan toilet, tidak masuk. Jangan salah paham. 

"Kalo lo gabut, gue telepon nNadya buat adain konseling hari ini" ujarnya kepadaku saat mengikutinya ke ruang kerjanya. 

Aku terdiam. Saat ini aku sangat tidak membutuhkan bimbingan konseling, toh kak Nadya juga sudah memberi kelongaran atas konselingku. "Naya harus berbuat apa untuk buat abang percaya sama Naya?" tanyaku kepadanya. Aku harus mengeluarkan jurus terakhir, siapa tahu abang percaya. 

"Gue nggak butuh itu" jawabnya menohok. Bang Ezra memasuki ruang kerjanya dan mulai menutup pintu dengan perlahan. 

"Waktu Naya kerumah Ivana, Naya liat foto ayah sama Om Marco.." paparku yang membuat Bang Ezra terdiam di depan pintu yang setengah menutup itu, 

"Naya sebenarnya nggak mau ngasih tau ini. Tapi sepertinya abang harus tau. Naya, nyari tau semua kejanggalan atas kematian Mama dan Papa. Dan setiap Naya bermimpi, selalu orang itu yang muncul, Om Marco. Bahkan di malam kejadian, Naya mendengar Om Marco akan membunuh ayah. Itu juga alasan kenapa Naya titipin surat perpindahan jabatan ke Paman" jelasku lagi. Bang Ezra tetap diam.

"Marco Mage? Apa kamu yakin mimpi itu sebuah kebenaran?" tanyanya. Aku menganggukan kepala dengan bersemangat. 

"Naya minta bantuan untuk ngembaliin ingatan Naya, sama Kak Nadya. Tentu di pantau oleh Bang Jun. Tapi sampai saat ini aman" jawabku. Bang Ezra kembali mengacuhkanku. Ia bahkan membanting pintu kantornya dan meninggalkan aku sendiri berdiri di depan pintu ruangannya. Kejam sekali. Tidak mungkin kan, ia kembali seperti awal? 

Aku kembali menuju kamarku. Aku membanting pintu itu dengan segala sampah serapah yang aku lontarkan kepada abangku itu selama perjalanan menuju kamarku. Aku membanting tubuhku ke ranjang, dan menatap ponselku dengan malas. Bosan sekali, jadi menyesal tidak sekolah.  

Waktu berjalan sangat cepat sekali. Sudah tidak terasa waktunya untuk makan malam bersama. Aku sudah berada di meja makan bersama dengan Bang Henry dan Alva. Bang Ezra belum keluar dari ruangannya dari tadi pagi. Bahkan ia melewatkan makan siang. 

Aku menatap piring yang berisi makan malamku itu dengan tidak selera. Jujur saja, hari ini aku bosan mampus. Aku ingin sekali menghubungi Kato, tetapi sampai saat ini, ia belum meminta maaf kepadaku. Ivana, juga masih menghilang. Sepertinya ia sedang berada di luar negeri karena nomornya tidak terdaftar. 

"Lo kenapa?" tanya Bang Henry. Aku menggelengkan kepalaku, 

"Berhasil ngebujuk Ezra?" tanya Bang Henry lagi, dan aku menjawabnya dengan gelengan kepala lagi. 

Bang Henry kembali tidak membuka suara. Aku merasakan sesuatu yang mengelus punggungku, ternyata Ia yang melakukannya dan melanjutkan makan malamnya. 

Selang beberapa detik kemudian, Bang Ezra datang dari arah ruangannya lalu duduk di bangku biasa ia tempati, bangku yang berada di depanku. 

Aku yang tidak ingin kehilangan kesempatan emas itu, meletakan sendok dan garpu di piring dan menatap Bang Ezra. "Abang udah nggak mikir, Bibi orang jahat, kan?" tanyaku dengan senyuman tulusku. 

Bang Ezra terdiam, lalu membanting sendok dan garpunya kemeja. "Gue kasih pilihan. Lo tinggal disini dan hidup bareng kita bertiga, atau lo hidup di rumah Bibi, tapi hilang kontak dari kita bertiga. Gue tunggu jawabannya besok pagi."

HAHAHA, katanya pulang kampung? tidak, tidak jadi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

HAHAHA, katanya pulang kampung? tidak, tidak jadi. Sedih bgt hueee. Iya, kesibukan yang nggak bisa aku kasih tau, salah satunya adalah balik kampung. Tapi itu semua tidak berjalan dengan mulus, jadinya aku masih terjebak di rumah. 

Anw, semoga suka bab kali inii. Tidak bosan - bosan aku mengingatkan, untuk meberikan bintang pada cerita ini. Bintang kalian sangat membantu aku dalam menulis, loh! XIXI jangan lupa di vote ya!! Sampai jumpa besok!! 

Twice (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang