1.4

157 29 4
                                    

"B-bang mau kemana sih?!" teriakku sembari berusaha melepas genggaman itu. Bang Henry tetap tidak menjawabnya, bahkan saat ini aku menjadi tontonan.

"BRENGSEK!"

bugh!

Aww, sungguh bogeman yang layak di terima. Ya, yang memukul Bang Henry adalah Bang Dipta.

"Nyari gara - gara lo sama kesayangan gue, Henry" desis Bang Dipta, sembari mencengkeram kerah seragam Bang Henry,

"Bang, udah" leraiku karena saat ini aku dan tiga orang ini menjadi tontonan murid di sekolahku.

"Mau bawa kemana Naya?" tanya Bang Dipta yang masih mencengkram kerah seragam Bang Henry.

"Bukan urusan lo, brother" jawab Bang Henry yang membuat muka lawannya memerah,

Bugh!

Yak satu bogeman telah mendarat di pipi manis pujaan hati anak cewe SMA Pelantara.

Aku yang tidak bisa melihat hal seperti ini secara langsung, hanya bisa berdoa agar jamku tidak berbunyi, karena saat ini detak jantungku sangat tidak teratur.

"B-bang, udah!" leraiku lagi namun tetap tidak di gubris oleh mereka.

Aku mencari sosok Bang Alva, namun dirinya tidak terlihat entah kemana, aku tidak tahu.

Aku mulai merasakan sakit di dada, tanganku sudah dingin serta sudah berkeringat dan sudah merasakan lemas yang menjalar dari kaki menuju tubuhku. Aku mencoba menggapai tangan Bang Dipta, dan saat itu juga jamku berbunyi yang menandakan denyut jantungku melebihi batas normal.

Bang Dipta langsung melepas cengkramannya lalu menggendongku menuju mobilnya, namun dirinya berhenti sesaat,

"Urusan lo sama gue masih belum kelar, Henry." desisnya lalu berjalan menuju mobilnya dengan menggendongku ala birdal style.

Bang Dipta menaruhku di dalam mobilnya, lalu mengambil obat yang selalu tersedia di mobilnya. Ia memberikan obat itu, dan langsung aku taruh di bawa lidah, nanti akan terurai dengan sendirinya.

Tangan Bang Dipta mengapai rambutku, sembari di elus pelan. Aku yang merasa sudah lama tidak di perlakukan seperti ini hanya bisa menutup mataku dan menikmati moment ini.

Ini kebiasaan Bang Dipta semenjak aku kecil, dirinya bahkan sangat sayang kepadaku di bandingkan dengan ketiga abang kandungku.

"Maaf" gumamnya pelan, dan aku masih bisa mendengarnya.

"Maaf karena gue, lo jadi kesakitan" gumamnya lagi. Aku memegang tangannya lalu memeluknya.

Aku memeluk tangannya hingga tenang, sekolah mulai sepi, mobilku juga sudah di bawa Kato. Bang Dipta segera keluar dari mobil dan menuju tempat driver dan menghidupkan mobilnya lalu segera pulang.

Kondisiku benar - benar sudah tenang, karena pelukan yang di berikan Abangku itu memang sangat manjur.

Sesampainya di rumah, aku segera menuju kamarku dan membersihkan diri lalu mencuci kotak makan entah dari siapa, namun setiap makanan yang di berikan selalu terasa nikmat.

"Perasaan setiap pulang sekolah, kamu nyuci kotak makan mulu, Nay" tanya Bibi sembari mengambil gelas.

"Dapet dari orang, Bi" jawabku lalu menaruh kotak bewarna merah yang basah itu di rak piring.

"Dari warna gelap, sampai warna terang. Orangnya siapa sih?" tanya Bibi lagi,

"Naya aja nggak tau" jawabku lalu membuka kulkas dan mengambil buah anggur.

"Bang Dipta beneran pindah, Bi?" tanyaku sembari memasukan buah Anggur kedalam mulutku.

Bibi Maria menganggukan kepalanya,

"Dia maksa pindah. Lagi pula visa dia mau habis" jawab Bibi,

"Beneran pindah tanpa paksaan?" tanyaku lagi yang membuat bibi terdiam,

"Pasti Bibi ngadu ke Abangkan soal Naya?" tanyaku tepat sasaran,

"Bi, Naya bukan bocah 10 tahun yang di pukul terus nangis kok, Naya nggak mau Abang sampe pindah sekolah karena abang abang kandung Naya, itu biar aku urus sendiri. Nanti Naya bujuk Bang Dipta biar nggak jadi pindah" jelasku lalu memasukan buah anggur itu kedalam kulkas.

Saat sedang mencuci tangan, aku merasakan getaran dari ponselku yang aku taruh di kantong celana. Aku segera mengeringkan tanganku lalu mengambil ponsel dan melihat siapa yang mengirimi aku pesan.

Aku membuka notifikasi itu, dan memperlihatkan nama yang mengirimkan pesan, dan nama yang tertera adalah nama Haikal. Tumben sekali mengirimi aku pesan, biasanya telepon. Ops, ketahuan ya?

Iya, selama beberapa bulan aku mengenalnya, aku dan dirinya lebih sering menghabiskan malam dengan bertelpon, bahkan menceritakan derita masing masing hingga kami berdua dekat walaupun kami berdua berkomitmen saat di sekolah berakting untuk tidak mengenal satu sama lain.

Haikal juga sudah mengetahui aku adik asli dari ketiga abangku, karena sehari setelah aku dan dirinya bertemu di rumah sakit, aku langsung mengakui semua hal yang aku simpan tapi tenang, tidak dengan penyakitku. Haikal masih tidak tahu mengenai penyakit yang akan menemani seumur hidupku.

Aku membaca pesan yang dikirimkan oleh Haikal, dan membalasnya. Dirinya ternyata mengajakku untuk bermain game, dan kami berdua langsung terhubung di telepon dan memainkan game yang bersyarat itu.

"Yang kalah, turutin apa kata si pemenang. Itu rulesnya" imbuh Haikal melalui saluran telepon,

"Oke!" ucapku setuju.

Aku dan Haikal memulai permainan aneh yang dari Haikal, memang pada dasarnya aku bodoh di segala game dan berujung aku kalah di akhir game.

"Kalah" gumamku sedih, padahal pengen menang.

"Inget rules awal, yang kalah turutin kemauan si pemenang" ujar Haikal sembari tertawa,

"Iya, lo mau apa, Kak?" tanyaku pede padahal was was dengan pertanyaannya.

"Jadi pacar gue selama 30 hari, kalo lo suka gue dalam 30 hari itu kita lanjut, kalo engga ya putus" ujarnya yang membuatku menegang, ini nggak salah?

"M-maksud?" tanyaku gugup,

Haikal tertawa kecil lalu mengulangi perkataannya,

"Sorry sweety, lo nggak bisa nolak" ujarnya.

Aku memikirkan kembali perkataannya, permintaannya memang berat tapi akan berakhir dalam 1 bulan, tentu tidak akan ada masalah jika aku tidak meletakan hatiku ke hati dia kan?

"Oke, aku terima!"

Naya lo gajelas, sumpah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Naya lo gajelas, sumpah.

Twice (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang