"Gue tau kalian benci dia, gue juga sama. Tapi dia adik kita, Hen, Al--" ucap Bang Ezra menghadap kedua adiknya. Sepertinya mereka membicarakan aku. Apakah aku menguping saja? Atau pergi?
"Mau gimanapun dia harus kita jaga. Gue sampai sekarang pun masih benci sama dia, kalau bukan karena kemauan dia, kita nggak akan kehilangan mereka" ucapnya lagi. Kamu tahu gimana rasanya jika jantung kalian terhantam benda berat? Seperti itu rasanya saat mendengar perkataan Bang Ezra,
"Dia sendiri yang ngebuang kita, Ja! Kita udah kasih dia kesempatan kedua, tapi apa? Dia tetap milih Bibi." ujar Bang Alva,
"Ralat. Gue dan Henry. Lo bahkan nggak ngasih kesempatan kedua buat dia" ucap Bang Henry.
"Gue tanya sama lo, bang. Tujuan lo bawa dia balik kesini apa? Jelas - jelas lo sendiri masih benci sama dia," tanya Bang Henry. Aku semakin mendekatkan kupingku ke pintu,
"Nothing. Dia aman disini. Kita nggak pernah tau rencana Bibi dan Paman." jawab Bang Ezra,
"Alasan lo nggak masuk akal. Jelas - jelas lo bilang sendiri tadi, lo masih benci Naya." sindir Bang Alva,
"Ya, gue masih benci sama dia. Lo tau betapa bencinya gue ngeliat wajah dia, Al? Lo tau rasanya mau ngebunuh orang, tapi dia adik lo sendiri? Ya Gu--"
brakk. Aku tersentak mendengar perkataan dari mulut mereka. Sontak aku menjatuhkan amplop yang berisikan berkas perusahaan kelantai.
"Naya?" tanya Bang Ezra menghampiriku. Aku melangkah mundur dengan perlahan, mencoba untuk tidak mengeluarkan air mata yang sudah berada di pelupuk mata. Aku menatapnya dengan nanar dan pergi dari sana.
Aku membanting pintu kammar dan menguncinya. Aku mengambil tas jinjing yang lumayan besar, dan memasukan beberapa baju. Entah aku harus kemana, yang penting aku pergi dari sini.
"Nay, buka pintunya." ucap seseorang yang berada di depan pintu kamarku. Benar, orang itu terus berada disana dan mengetuk pintuku tiada henti.
Aku menghiraukan suaranya. Aku memasukan ponsel, dompet dan juga mengambil kunci mosi.
"Nay, yang kamu denger tadi hanya salah paham. Percaya sama abang!" serunya dengan menggedor pintu kamarku.
Aku kembali mengecek barangku, lalu membuka pintu kamar. Dan terpampanglah manusia yang banyak muka ini.
"Apa lagi? Salah paham? Menurut lo apa yang gue denger salah paham?" tanyaku. Ia menganggukan kepalanya yang membuatku berdecak kesal.
"Pernyataan yang keluar dari mulut dan ludah lo sendiri, masih lo bilang salah paham? Nggak waras lo, bang." jelasku lalu menabrak bahunya, dan meninggalkannya.
Saat berada di ruang tamu, tiba - tiba tanganku di tahan oleh Bang Ezra.
"Lo nggak mau dengeri gue? Dengerin dulu." pintanya dengan muka melas yang membuatku menurutinya,
"Yang lo denger tadi, nggak seperti yang lo bayangin, Nay. Percaya sama gue." jelasnya yang membuatku muak.
Tanpa membalas percakapan tadi, aku melepas paksa tanganku dari genggamannya dan pergi menuju Mosi. Aku memasuki mobilku dan menyalakannya. Aku melihat Bang Ezra yang berlari menuju mobilku, tanpa berlama-lama aku menjalankan mobil itu tapat saat Bang Ezra sampai di tempat parkiran.
Aku mengendarai mobilku entah kemana, yang penting aku keluar dari rumah. Aku memasuki pintu tol, dan saat itu juga aku melihat mobil Bang Ezra yang sudah berada di belakang mobil. Sial, cepet juga dia ngejar aku.
Setelah membayar pintu tol, aku segera menambah kecepatan mobil. Aku melihat spion mobilku dan melihat mobil Bang Ezra yang ada di belakangku. Dia pembalap atau apa sih?!
KAMU SEDANG MEMBACA
Twice (END)
Teen FictionNaya mencoba untuk mencari tahu kebenaran tentang kematian kedua orang tuanya. Namun dirinya tidak bisa melangkah lebih dikarenakan penyakit yang ia punya. Apakah Naya bisa menyelesaikannya? Bagaimana dengan percintaan dimasa remajanya? Dan bagaiman...