3.1

45 7 1
                                    

Sudah beberapa minggu setelah kejadian itu. Tentu masih menghadapi terapi konseling bersama dengan Kak Nadya, traumaku masih ada, bahkan aku sering memimpikannya, dan karena itu juga aku tidak bisa tidur dengan nyenyak seperti sedia kala. 

Saat ini aku juga sudah pulang kerumah Bibi Maria, dan sudah pergi sekolah seperti biasa, walaupun akan di pantau oleh Kato dan juga Haikal, oh jangan ketinggalan Bang Henry. 

Seperti kali ini, aku berada di kantin di kelilingi oleh temanku, termasuk Dewa yang ikut ngintil. Oh, sedikit informasi. Ingat dengan kejadian di dufan? Sampai sekarang, Bang Dipta tidak mengetahui kejadian itu. Entah Haikal yang berhasil menutup mulutnya atau memang Bang Dipta yang berpura pura tidak tahu. Kak Indri juga setiap melihatku akan takut, sepertinya para abangku berhasil membuat mulut cabenya itu terdiam. 

"Nanti jalan, mau nggak?" ajak Haikal mengalihkan pembicaraan. Karena sedari tadi kami membicarakan masa laluku yang tidak berujung itu. 

"Kemana?" tanya Kato, 

"Cafe deket rumah Naya kayaknya enak. Nanti gue juga ajak yang lain. Gimana?" tanya Haikal lagi. Aku menganggukan kepala, begitu juga dengan Kato, Ivana dan juga Bang Dipta yang tengah memakan soto. 

"Oke, nanti gue buat reservasinya." katanya, dan kami semua menganggukan kepala setuju. 

Hingga saat inilah tiba. Setelah pulang sekolah, kamu berempat langsung menuju cafe yang di maksud oleh Haikal dengan menggunakan mobil kami masing - masing. Haikal akan menyusul, karena ia bersama dengan para abangku. 

Kami berempat memasuki cafe yang baru buka itu. Saat memasuki tempat itu, aku merasa tidak asing dengan interior yang mereka gunakan, namun aku tidak ingat dimana itu. Mereka mengusung tema elegant namun classic. Lumayan nyaman untuk nongkrong berjam - jam disini. 

Kami berempat dibawa menuju meja yang sudah di pesan oleh Haikal saat di sekolah tadi. Rupanya ia memesan meja yang berada di luar ruangan. Sepertinya ia akan melakukan aktifitas outdoor disini. Interior outdoornya juga tidak kalah keren dengan yang didalam. Rupanya owner dari cafe ini sangat detail. Sepertinya aku akan kesini setiap minggunya. 

Sembari menunggu Haikal datang, aku, Bang Dipta, Ivana dan Kato memesan minum terlebih dahulu, karena kalau menunggu mereka, akan lama. Kami berempat memesan yang ingin kami minum. Selagi menunggu kami menggibah ria, entah membicarakan kucing yang sudah melahirkan, guru bk yang di depak oleh kepala sekolah, dan diamnya Kak Indri yang menjadi misteri. Padahal sudah jelas, diamnya cewek itu karena teguran Bang Ezra. 

Beberapa menit kemudian, minuman kami datang dan saat itu juga Haikal datang dengan kedua temannya, yaitu Bang Henry dan juga Bang Alvaro. 

Formasi sudah lengkap, bahkan ketambahan satu anggota yaitu Bang Ezra yang tiba - tiba menghampiri meja kami. Kemungkinan besar hari ini dirinya sedang kerja dari rumah, dan karena penat ia memutuskan untuk ke cafe ini. Karena letak cafenya sangat dekat dengan rumah utama. 

Kami berdelapan tenggelam dalam percakapan yang unfaedah, bahkan Ivana yang biasanya diam, ia sekarang bisa tertawa karena candaan garingnya Bang Dipta. 

Sudah satu jam kami berada di cafe ini, saat sedang berbicara dengan Bang Ezra, aku merasakan seseorang memegang pundakku dari belakang, aku merasakan tangannya seperti memegang leherku. Aku melihat orang itu dan ternyata ia adalah Bang Hasbih yang datang terlambat. Karena tindakkannya, tanganku mulai bergetar hebat, jantungku terasa terpompa, keringat dingin mulai menyelimuti tubuhku, bayangan tangan itu kembali lagi. Aku tahu cowo itu tidak sengaja melakukannya, ia juga tidak mengetahui tentang traumaku, jadi aku sedikit memakluminya. Tetapi bayangan yang semakin jelas itu tidak bisa aku maklumi. Aku memejamkan berusaha untuk tidak melihat bayangan itu, namun semakin aku memejamkan mata, semakin jelas. Bahkan aku bisa melihat bapak - bapak itu. 

Aku meraih tangan Bang Ezra, untungnya ia berada tepat di sampingku. Ia sepertinya sadar bahwa traumaku kambuh, "Keluar dulu, nanti aku kesana" bisiknya. Sepertinya ia juga tahu aku tidak ingin membuat para temanku khawatir. 

Aku bangkit dari tempat itu tanpa memberitahu mereka lalu segera menuju keluar cafe, aku menuju mobil Bang Ezra yang terparkir tepat di samping mobil Haikal. Aku menyenderkan tubuhku di badan mobil. Bayangan itu semakin jelas dan mulai menganggu. Aku berusaha menyadarkan diriku dengan menarik-narik rambutku namun tidak bisa, bayangan itu tidak mau hilang. 

Aku melihat lampu mobil berkedip, yang tandanya Bang Ezra sudah berada disini. Mataku mulai menelusuri area parkiran dan melihat abangku itu berlari kearahku. Ia membukakan pintu penumpang dan menyuruhku masuk kesana. Begipun dengan dirinya. 

Aku menyenderkan tubuhku di kursi penumpang dan mulai menangis, bayangan itu semakin jelas, bahkan sangat jelas aku rasakan. Bahkan aku bisa membayangkan orang yang di sebelahku adalah bapak-bapak kemarin yang ingin mencekikku. Rasanya sesak, sangat sesak. 

Aku menangis sejadi - jadinya. Aku mulai merasakan tangan itu mencekik diriku, lagi. Aku menggelengkan kepala, menjedotkan diriku ke jendela mobil agar bayangan itu hilang. Bang Ezra memelukku, ia tidak bisa melakukan apa-apa selain melakukan itu. Aku merasakan napasku seperti ada yang menahan, area leher sangat sakit, tanganku bergemetar hebat, sekarang aku seperti orang yang tanpa nyawa. 

"T-tolong, Naya" gumamku di pelukannya, 

"Abang disini," ujarnya dengan mengelus kepalaku dengan halus, 

"T-tolong" aku kembali bergumam. Bang Ezra semakin mengeratkan pelukannya, sepertina ia tahu apa yang aku lakukan setelah ini. 

Air mataku terus mengalir dengan deras, aku mencoba melepaskan pelukan itu karena rasanya semakin sesak, bukan hanya di area leher, tetapi di seluruh tubuhku merasakan itu. Sebenarnya kepanikanku bisa di tenangkan dengan sebuah obat, namun aku lupa membawa obat penenang yang sudah di resepkan oleh Kak Nadya, dan terjadilah ini, semakin di diamkan akan semakin parah. 

"N-naya mau lepas dari ini semua. Tolongin Naya" ujarku di pelukannya. Bang Ezra tidak menjawab apapun, ia hanya mengelus kepalaku. 

"Apa baiknya Naya mati, bang?" tanyaku spontan. Rasa sesak ini tidak ada ujungnya, sungguh. 

"Apa mati bisa membuat Naya bahagia?" timpal Bang Ezra. 

"Setidaknya aku tidak menderita." jawabku. Bang Ezra berhenti mengelus rambutku, 

"Kamu harus berjuang. Jangan pernah menyerah. Sekali saja, jangan pernah menyerah. Kita ada untuk Naya. Naya sudah tidak sendirian lagi" ujarnya dengan lembut. 

"Anggaplah ini sebagai medan pertempuran, dimana kamu harus melawan diri kamu sendiri. Siapapun yang menang, dia yang akan menjadi diri Naya yang sesungguhnya. Jika Naya ingin kalahkan Naya yang sekarang, bertarunglah, agar Naya yang dulu Abang kenal bisa kembali" 

"Abang akan selalu berada di samping Naya. Ingat itu" 

Sayang banget deh sama Ezra

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sayang banget deh sama Ezra. Nikah yuk? Hehehehe

Twice (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang