3.9

46 6 0
                                    

Satu hal yang aku lihat saat aku bangun adalah kegelapan. Aku tidak melihat apapun saat ini. Apakah aku di culik? Apakah aku di sandara? Terakhir yang aku ingat adalah aku berada di mobil Haikal, dan seseorang mencoba menculikku. Sepertinya benar, aku diculik. 

 "Help" pintaku dengan perlahan. Efek obatnya masih terasa, yang membuat kepalaku pening. Di tambah dengan kegelapan menjadikan kepalaku lebih pusing dari biasanya.

Aku mencoba mengumpulkan tenagaku untuk berteriak, "TOLONG!!" teriakku. Namun bukannya pertolongan yang aku dapatkan, aku malah mendapatkan tamparan di kedua pipiku. 

"DIAM!" teriak seseorang dengan suara beratnya. Aku tahu suara ini. 

"P-paman?" dengan suara serak, aku menanyakan orang pertama yang terlintas di otakku saat mendengar suaranya. 

Lelaki itu tertawa, "Aku sampai melupakan, bahwa anak-anak Arthur itu cerdas." gumamnya tepat di depanku, aku dapat merasakan napasnya. 

"Benar, sayang. Paman disini" jawabnya sinis,

Aku tersenyum, "Paman disini mau nolongin Naya, kan?" tanyaku bodoh. Sangat bodoh, Naya. 

Gelegar tawaan menyerang ruangan kosong ini. Mereka tertawa atas pertanyaan yang aku lontarkan. Paman tidak sendiri, sepertinya ia membawa orang bayarannya. 

"P-paman, t-tolong Naya" bisikku, paman kembali tertawa. 

"Saya yang menyandra kamu, saya juga yang harus melepaskan kamu? Mimpimu tinggi sekali" ucapnya dengan membuka penutup mataku. 

Hal pertama yang aku lihat adalah wajah paman, dan yang kedua adalah ruangan gelap dan hanya sebatang lilin yang yang ada di tangan paman. 

"M-mau paman, apa?" aku kembali menanyakan hal bodoh. Sudah jelas, mereka mau perusahaan papa. 

"Dimana kamu sembunyikan kertas-kertas itu?" tanya paman balik. Aku tahu ia akan membawa kemana percakapan ini. 

Aku dapat melihat mata paman semakin tajam menatapku. Aku menggelengkan kepala, aku sendiri tidak mengtetahui kemana perginya kertas itu. Karena terakhir, kertas itu berada di lantai. 

Paman menggeretakan giginya, ia kesal. "Dimana kamu menyembunykannya. Naya?" tanyanya dengan nada halus. Oh, sepertinya ia akan meledak. 

"Naya tidak tah-" Plakk! 

"Anak tidak tahu diri. Seharusnya kamu kemarin mati saja" ucap paman menohok. 

Tangan paman kembali mmengarahkan ke pipiku dan plak!! sekali lagi aku di tampar olehnya. Keras, tamparannya sangat keras. Aku meringis kesakitan, kedua pipiku sudah tidak ada rasa sama sekali, aku juga merasakan rasa darah di sudut bibirku. 

Ia mengarahkan tangannya menuju rambutku, ia menariknya. Sontak kepalaku tertarik kebelakang, dan aku dapat melihat wajah paman dengan sangat jelas. Paman tersenyum sinis,  "Saya kasih waktu sampai besok. Jika kamu tidak memberi tahu, dimana letak kertas-kertas itu, lihat apa yang akan terjadi padamu esok hari. Yang terburuknya, kamu tidak akan melihat dunia ini lagi." tekannya lalu melapaskan tangannya dengan kasar, kemudian Paman keluar bersama dengan orang yang ia bayar. Paman juga meletakan lilin yang akan mati itu, tepat di depanku. Setidaknya, dalam waktu lima menit, aku bisa melihat. 

Sebenarnya apa yang Paman cari? Harta? Bukannya ia sudah mempunyainya? Tapi mengapa ia mengincar hartaku? Pertanyaan itu terus berputar di dalam otakku. Aku tidak mengerti mengapa Paman harus bertindak sejauh ini. 

Ketika sedang asik memikirkan pertanyaan yang terus muncul di benakku, perutku tiba-tiba berbunyi, menandakan dirinya perlu diisi oleh sesuatu. Ah, benar juga. Perutku belum kemasukan apapun dari semalam. Apakah paman akan memberikan aku makan dan minum? Semoga saja ia memberikan. 

Twice (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang