3.2

53 8 0
                                    

Dua jam lamanya aku dan Bang Ezra berada di mobil, dan dua jam sudah mereka meneleponi kami. Selama dua jam disana, emosiku tidak stabil sama sekali, dan selama itu juga Bang Ezra tidak melepaskan pelukannya. Ia terus memeluk diriku hingga diriku stabil kembali. 

"Sudah tenang?" tanyanya. Aku menarik napasku, lalu menghembuskan sembari menganggukan kepala. 

"Pulang kerumah utama ya? Henry udah izin ke Bibi," katanya.

"Yang lain?" tanyaku, 

"Udah aku suruh pulang," jawabnya, lalu keluar dari pintu penumpang dan memasuki tempat mengemudi. Aku tetap diam, 

"Tenang aja, aku nggak ngomong tentang keadaan Naya. Mereka pulang atas kehendak mereka." jelasnya. Aku menganggukan kepala lalu menyenderkan kepala ke jendela dan melihat jalanan yang semakin lama semakin hilang dari pandangan.  

Esok harinya, aku sengaja tidak pergi kesekolah karena hari ini merupakan jadwalku untuk konseling bersama dengan Kak Nadya. Jadwal konselingku ada 10 kali, satu kali di setiap minggunya. Dan sekarang sudah memasuki tahap konseling ke tujuh. 

Aku menuruni tangga rumah yang menghubungkan ke dapur. Aku melihat Bang Ezra serta Bang Alva yang sedang melaksanakan sarapan paginya. Sepertinya mereka berdua akan ada dirumah seharian ini. 

"Udah bangun? Sarapan dulu," ajaknya dengan memberiku sebuah mangkuk dan memberikan sereal jagung dan di tuangi susu. 

"Aku udah kabari Nadya untuk ke rumah ini, kamu bisa pakai ruang kerja Abang" ucapnya. Aku tidak menjawabnya, hanya menganggukan kepala lalu fokus memakan sarapanku. 

"Lo gak bisu kan? Kalo nggak, seharusnya lo bisa jawab" sinis Bang Alva. 

"Udah Al, udah" gumam Bang Ezra untuk menghentikan dirinya. 

Aku menatap dingin Bang Alva, "Harus jawab apa?" tanyaku, 

"Iya kek, makasih kek, masih banyak jawaban buat ngejawab. Hargai abang lo yang udah mati-matian jagain lo. Yang di jagain malah ngelunjak" ujarnya, 

"Alvaro, gue minta udah." kata Bang Ezra melerai kami berdua. 

"Nggak bisa, bang. Dia di kasih hati mintanya jantung" semburnya yang membuatku naik darah. Jujur, hari ini aku sangat tidak mood untuk berbicara, bahkan marah sekalipun. 

Aku membanting sendok serealku, lalu mendirikan tubuhku. "Makasih sarapannya. Naya keatas. Nanti suruh Kak Nadya langsung ke kamar Naya aja, bang." kataku tanpa menoleh ke arah mereka berdua dan langsung pergi dari sana. 

Setelah itu tidak ada hal yang terjadi, mereka bertiga sibuk dengan kegiatannya masing - masing. Hingga matahari terbenam, tiba- tiba Haikal mengajakku untuk keluar. Aku pergi keluar untuk makan malam. Malam ini aku sangat tidak ingin melihat wajah ketiga abangku. Ternyata seperti ini jika mereka berusaha menjadi abang yang baik buat diriku. Rasanya seperti ada yang kurang, seperti mereka masih menyimpan dendam di hatinya. 

"Mau makan apa malam ini?" tanya Haikal menggandeng tanganku. 

Aku melihat gerobak-gerobak yang ada sana. Benar sekali, aku dan Haikal sedang mengunjungi sebuah bazzar yang selalu ada setiap malam rabu dan sabtu di kampung sebelah. Tradisi ini sudah berjalan bertahun-tahun lamanya, namun aku baru pertama kali kesini. 

Disini banyak sekali makanan yang ada. Dari yang ringan seperti, cimol, batagor, somay, cilung, bilung dan makanan ringan lainnya, hingga ke yang berat seperti, persotoan, bakso, ketoprak, dan makanan Indonesia lainnya. 

Setelah mengamati para pedagang yag ada disana, mataku terunci pada gerobak sate taichan yang ramai. 

"Kamu mau ngantri nggak, Kak?" tanyaku kepadanya. Ia menyeritkan dahinya, 

Twice (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang