Prolog

114 9 4
                                    

Bulan sedang mengamati Istana Goldstain yang penuh gemerlap dari tempatnya. Lampu diletakkan di berbagai sudut, pemain musik dan penari di panggung besar tengah sibuk memainkan perannya masing-masing, gerbang Istana yang biasanya ditutup rapat malam ini terbuka.

Istana yang biasanya sunyi, malam ini ramai dipenuhi gelak tawa dan perbincangan dari warga yang ikut meramaikan festival malam ini. Semuanya terlihat bahagia.

Di tengah keramaian itu, ada seorang anak laki-laki sedang mengenggam tangan Ibunya. Berusaha mensejajarkan langkah dengan sang Ibu yang bergerak ke sana kemari untuk menyapa tamu undangan.

Anak laki-laki itu bertahan lebih lama dari biasanya karena usianya baru saja bertambah hari ini. Mungkin bertambahnya usia meningkatkan energi anak itu.

Tenaga anak itu memang bisa bertahan lebih lama, tapi rasa bosannya tetap sama. Ia bosan mengikuti Ibunya sepanjang acara, menyapa beberapa tamu, tersenyum, sedikit membungkuk memberi hormat tiap kali bertemu dengan yang lebih tua, dan sesekali mengulurkan tangan tiap kali dikenalkan dengan seseorang.

Ia menatap iri anak-anak lain yang sedang bermain di pekarangan istana. Mereka berlarian mencoba berbagai macam permainan yang biasanya hanya ada di pasar malam dan mencicipi berbagai macam makanan ringan yang terlihat menggugah selera.

Padahal semua itu disiapkan untuknya. Permainan dan makanan gratis itu untuk merayakan ulang tahunnya. Tapi, orang lain malah menikmatinya lebih dulu.

Ia menoleh ke arah Ibu yang masih sibuk berbincang dengan salah satu tamu. Dalam hati berharap sang Ibu sedikit menoleh ke arahnya.

Ibu yang merasa diperhatikan menoleh ke arah anak itu, tersenyum. "Bu, Apa Al sudah boleh bermain?" ucap anak itu.

Ibu mengangguk, mengusap puncak kepala anaknya lembut. "Gio, jaga Al baik-baik ya" ucap Ibu ke arah anak kecil yang usianya dua tahun lebih tua dari anaknya.

Seorang anak yang dipanggil Gio itu mengangguk mengerti.

Keduanya sedikit menunduk sebagai tanda hormat, kemudian pergi menuju pekarangan Istana untuk bersenang-senang layaknya anak-anak yang lain.

"Allen! Sergio!" terdengar suara seorang anak laki-laki yang lantang di tengah keramaian.

Dalam hitungan detik anak itu sampai di hadapan orang yang dimaksud. Sementara, yang dipanggil hanya menoleh sebentar dan kembali fokus dengan permainan mereka memecahkan balon.

"Tidak perlu terlalu serius, itu mudah" ucap anak itu berusaha mencuri perhatian keduanya.

Anak laki-laki itu berhasil, kini Allen dan Sergio menoleh ke arahnya. Allen memberikan dua anak panah pada anak itu dan dalam hitungan detik anak itu berhasil memecahkan dua balon.

Allen membulatkan matanya tidak percaya. Ia melipat kedua lengannya di depan dada selagi berkata pada penjaga tenda, "Tuan, berapa balon untuk dapat itu?" jari telunjuknya mengarah pada rak barisan paling atas, mainan mobil yang terbuat dari kayu.

"Sepuluh balon" jawab penjaga tenda dengan ramah.

"Ris, siapapun yang dapat mobil boleh minta apapun" ucap Allen selagi kembali fokus dengan barisan balon di depannya.

Sementara, anak yang dipanggil Ris itu sudah melayangkan anak panah tanpa menjawab. Satu balon.. dua balon.. Allen berusaha tetap fokus dan ikut melayangkan anah panah itu satu-persatu.

"Lihat? Seorang Harris tidak pernah kalah" ucap anak itu dengan wajah mencela.

Allen menatap tajam tujuh balon yang sudah pecah di depannya dengan tangan mengepal. Ia geram, tidak mengerti mengapa tiga anak panah sisanya bisa meleset.

Ia melipat kedua tangannya di depan dada dengan rahang yang mengeras.

"Al, jangan" Allen melihat Sergio yang sedang menatapnya, memohon dengan lengan yang sudah meremas bahu Allen.

Allen menoleh bergantian ke arah Harris dan penjaga tenda yang sedang menyentuh kepalanya. Kala itu, Allen sadar kalau dia hampir hilang kendali.

"Buat kamu saja, lagipula Aku tidak suka mobil. Aku lebih suka buku" Harris menyerahkan mobil kayu pada Allen. Terkadang Allen melupakan kemampuan Harris. Allen tidak seharusnya menantang kemampuan itu. Menantang Harris hanya selalu berakhir dengan membuatnya emosi akibat kalah dalam permainan.

Allen menatap kedua sahabatnya yang terlihat tidak bertenaga. Dengan inisiatifnya, Ia merangkul Harris dan Sergio, membawa keduanya melangkah menuju tenda makanan.

Tanpa segan, Harris menunjuk semua makanan manis yang Ia inginkan. Allen tidak keberatan, apapun selagi energi sahabatnya bisa pulih dan mereka bisa bersenang-senang lagi malam ini.

Benar saja, sepuluh menit kemudian energi Harris dan Sergio sudah pulih. Buktinya, tanpa aba-aba Harris sudah hilang di tengah kerumunan setelah mengatakan ada tempat menarik yang harus mereka kunjungi.

Allen berusaha mengejarnya sekaligus mengingat arah yang baru saja Harris lalui bersama Sergio di belakangnya. Namun, Harris terlalu cepat.

Di tengah-tengah kebingungannya, Allen melihat seorang anak perempuan. Perempuan itu berdiri cukup jauh darinya sedang melambaikan tangan dan tersenyum. Awalnya Allen ingin mengabaikan anak itu, tapi lambaian tangan itu berubah menjadi gerakan tanda mengajak.

Allen bingung, sementara anak itu sudah mengangguk seakan berusaha meyakinkan Allen. "Mungkin dia tahu kemana Harris pergi" pikirnya.

Baru akan melangkah, seorang anak perempuan lain muncul dihadapannya. "Jangan ke sana" ucap perempuan itu tiba-tiba.

Allen menatap anak itu tidak mengerti. Bisa-bisanya anak itu melarangnya. Memangnya dia siapa? Anak itu bukan siapa-siapa jika dibandingkan dengan dirinya. Tapi, tetap saja Allen ingin tahu alasan anak itu melarangnya.

"Kenapa?" tanyanya.

Anak itu menatap Allen ragu, Ia meremas dadanya kuat-kuat, sesekali membuka mulut tapi tidak satupun kata berhasil keluar dari mulutnya.

Merasa terlalu lama, Allen melangkahkan kakinya. Mengabaikan ucapan anak perempuan itu.

"Jangan" langkah Allen lagi-lagi terhenti. Ia kembali menoleh ke arah anak perempuan itu.

Anak itu meremas dadanya semakin kuat, keningnya mulai berkeringat, dengan parau Ia berkata, "Dadaku sakit".

Allen terkekeh meremehkan. Allen bukan dokter, bukan juga penjual obat-obatan. Sakitnya anak itu tidak ada hubungannya dengan dirinya.

"Lalu kenapa? Pergilah ke rumah sakit" ucap Allen.

Allen pergi meninggalkan anak perempuan itu tanpa menghiraukan ucapannya.

"Kamu tahu dimana Harris?" tanya Allen begitu sampai dihadapan anak perempuan yang sejak tadi menunggu.

Anak perempuan itu tersenyum dan berkata, "Aku tidak tahu, tapi Aku bisa membantumu".

-The Grey in Me-

The Grey in MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang