32: Bukan Ilusi

5 1 0
                                    

Baru satu minggu, tapi kamu sudah kembali. Allen, kamu kembali terlalu cepat. Waktu singgahmu tidak sebanding dengan lelahnya perjalananmu ke desa ini.

Hari ini adalah pesta ulang tahun desa. Sepanjang hari, kami bergotong-royong demi mempersiapkan pesta. Ibu-ibu dan wanita sibuk memasak, bapak-bapak dan pemuda sibuk mengangkut perlengkapan, sementara Aku memberi arahan pada murid untuk membuat hiasan dekorasi di pendopo.

Owen, Dean, dan Gail sesekali datang ikut membantu anak-anak menggunting karton atau memasang dekorasi yang tinggi. Sedangkan, Sergio dan Allen sibuk berbincang dengan para pengurus desa.

Bodohnya, di antara kesibukan itu Aku masih bisa mencuri pandang ke arahnya seakan memastikan sosoknya asli atau hanya ilusi.

Seluruh persiapan usai, semua penduduk termasuk para tamu dipersilahkan pulang untuk bersiap-siap.

Pukul tujuh malam, kami kembali berkumpul di pendopo mengenakan jubah masing-masing. Diwajibkan karena ini adalah acara formal.

Tentu saja, Aku datang mengenakan jubah biru milik Owen. Susunan acara bisa dibilang sangat sederhana, hanya sambutan singkat, ucapan dari kepala pengurus termasuk Allen, makan bersama, lalu acara bebas yang kebanyakan diisi dengan tukar kisah.

Aku yang mulai tidak nyaman perlahan-lahan bergerak mundur, lalu menghilang bersama anak-anak yang bermain di lahan depan pendopo.

"Bosan, ya?" Owen duduk di sampingku, ikut memperhatikan anak-anak yang sedang bermain.

Aku menggeleng, "Sedikit tidak nyaman" ucapku selagi menggerakkan kaki tanda bosan.

Ia menyerahkan teh hangat ke arahku yang tentu saja ku terima dengan baik. "Akan ada projek besar ya?" tanyaku berharap mendengar jawaban yang bisa menjelaskan kehadiran Allen.

"Setahuku, projek Bapak selama lima tahun terakhir membangun jalan besar" jawab Owen usai meneguk teh hangat miliknya.

Aku mengeratkan genggamanku pada gelas. Dugaanku benar, lantas mengapa rasanya Aku baru saja kecewa?

"Penanggung jawabnya bukan Allen" lanjut Owen tanpa diminta. Seakan tahu apa yang baru saja terlintas dalam pikiranku. Aku curiga, sepertinya Owen punya kemampuan lain.

"Dia ke sini hanya untuk kunjungan" tambahnya. Sungguh, Owen, harusnya tidak perlu diperjelas. Harusnya berpura-pura tidak mengerti.

Aku memejamkan mata, berusaha menenangkan diri yang rasanya semakin kalut. Baru kali ini Aku merasa kebiasaan Owen sangat menganggu. Ada beberapa hal yang baiknya disimpan sendiri, meski kamu ingin mengatakannya.

"Sepertinya masalah kalian belum selesai, ya?" ucapnya terdengar ragu.

"Sudah selesai, sejak satu tahun lalu" jawabku sambil mengalihkan pandangan menunjukkan rasa tidak minat.

"Sejak kedatangan Allen, kamu terlihat punya banyak pikiran" lanjutnya masih mempertahankan topik.

"Tidak perlu menceritakan apapun, Aku hanya ingin bilang. Kamu jadi terlihat lebih hidup" Owen mengambil gelas dari tanganku, lalu kembali dengan gelas hangat yang baru saja diisi ulang.

Belum sempat mengatakan apapun, Owen dipanggil oleh kedua temannya. Meninggalkan Aku sendirian, dengan pikiran ku yang kalut.

Ingatanku kembali pada saat itu, ketika Aku hanya seonggok tubuh yang bergerak bagai mayat hidup. Tanpa jiwa, tanpa rasa. Sekarang, Aku bisa merasakan gelisah, amarah, dan sedih.

Benarkah itu berkat Allen? Entah. Yang ku tahu, tidak ada yang bisa mengendalikan diriku sendiri selain Aku.

Takut semakin kalut, Aku memutuskan untuk berpamitan kepada kepala desa, dan pulang menuju rumah singgah. Untuk pertama kalinya, pulang sendirian di malam hari, tanpa Owen. Demi menghilangkan rasa ketergantungan itu.

The Grey in MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang