30: Jubah Biru*

8 1 0
                                    

Pesta penyambutan berlangsung sangat meriah. Kami makan malam bersama, sesekali Aku dikenalkan dengan pengurus desa, lalu kepala desa memberi sepatah dua patah kalimat. Tak lupa memberi waktu untukku sekedar menyapa penduduk dan calon murid.

Senyum tidak pernah pudar, tutur kata yang santun, gestur yang hati-hati. Aku berusaha keras memberi kesan terbaik, dalam hati berharap agar dapat diterima dengan baik.

Pesta penyambutan berakhir kala kepala desa dan para pengurus kembali ke rumah masing-masing. Kemudian, Owen mengantarku pulang dan malam itu berakhir dalam hitungan jam.

Ucapkan terima kasih pada Tuhan karena telah mengabulkan doa. Perjalananku di tempat ini tidak sulit. Aku bisa beradaptasi dengan mudah berkat sambutan hangat penduduknya.

Meski kelas pertamaku hanya dihadiri tiga murid. Seiring dengan berjalannya waktu dan proses pengenalan kami, murid yang hadir menjadi tiga kali lebih banyak.

Mereka senang tiap kali Aku bercerita dan bernyanyi. Syukurlah, Aku bisa membuat mereka nyaman. Tentu saja, hal itu bisa dicapai berkat bantuan Owen. Ia membantuku memikirkan bahan mengajar, membeli alat dan bahan, bahkan bersedia dijadikan salah satu tokoh dalam cerita.

Tidak ku duga tempat ini bisa membuatku nyaman. Sayangnya, kenyamananan itu hanya sesaat. Tiap kali bulan dan bintang menduduki tahtanya, Aku merasa takut.

Rasa takut itu menggerogoti diri, membuatku merasa bahwa Ellyna di siang hari bukanlah Ellyna. Lalu, dengan bodohnya merasa takut sifat asliku akan diketahui banyak orang. Takut topengku terbuka. Terlebih, takut mengecewakan banyak orang.

Tunggu, bagaimana kalau sebaliknya? Bagaimana kalau Ellyna yang sebenarnya adalah Ellyna di siang hari? Lalu, Ellyna di malam hari hanyalah bayangan gelap dari sosok Ellyna yang terjebak di masa lalu. Benar, Aku tidak tahu.

Ellyna di siang hari adalah Ellyna yang santun, dewasa, penuh semangat, dan ceria. Berbeda dengan Ellyna di malam hari yang muram dan lemah.

Semoga, tujuan ku pergi ke tempat ini membuahkan hasil. Semoga, kali ini Aku bisa keluar dari lingkaran hitam itu. Anggaplah rasa nyaman itu salah satu tanda keberhasilan. Didukung dengan tanda lainnya yaitu selama tujuh minggu ini Aku berhasil melupakan kemampuanku.

"Ada titipan untuk minggu ini?" tanya Owen usai meletakkan tiga ikat kayu bakar baru di dapur.

"Sepertinya Aku kehabisan ide mengajar" tanganku sibuk menyeduh teh hangat.

Owen menerima segelas teh hangat sebelum kami melangkah menuju teras. Melukis sudah, bermain tanah liat sudah, menceritakan tulisan masing-masing sudah, berhitung dengan batu sudah.

"Boleh tidak Aku ikut ke pasar?" Siapa tahu dengan melihat barang-barang di sana Aku bisa mendapatkan ide.

Owen tersenyum, netranya bergerak ke arah leher dan punggungku. "Boleh, tapi harus mengenakan jubah" ucapnya.

Benar, sejak sampai di desa ini Aku tidak pernah mengenakan jubah merah itu. Berkat profesi penduduknya yang sebagian besar adalah petani, mereka kebanyakan tidak mengenakan jubah.

Jubah hanya dipakai oleh Ibu kepala desa, Owen dan anak-anak muda saat rapat organisasi, serta Bapak kepala desa dan para pengurusnya saat rapat mingguan. Aku beruntung karena peraturan di sini tidak seketat peraturan di desa lain. Tidak ada yang menegurku, tidak pula memaksa.

Alasan terbesarnya adalah karena Aku belum bisa menerima diriku yang baru. Aku tidak terbiasa mengenakan jubah bangsawan berwarna merah itu. Rasanya seperti sedang membawa beban berat dibahu, padahal jubah merah lebih ringan dari jubah biru.

Selain itu, Aku ingin melupakan kemampuanku. Mungkin, inilah salah satu sebab kenyamananku selama ini. Di beri kebebasan tanpa embel-embel kedudukan. Di buat lupa dengan status dan kemampuan. Bahkan, di terima sebagai manusia biasa yang hanya berbekal perjalanan hidup.

The Grey in MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang