29: Tempat Asing

4 1 0
                                    

Aku tidak pernah menyangka akan pergi lagi secepat ini. Meninggalkan Ibu untuk yang kesekian kalinya.

Wajahnya tersenyum manis, matanya berkaca-kaca, tangannya melambai bagai mengucap sampai jumpa. Di sisinya, Luna dengan ekspresi yang sama melambaikan tangan sambil berkata, "Kalau kembali bawakan Aku teh!!".

Dari balik kaca mobil dinas yang setengah terbuka, Aku tersenyum selagi membalas lambaian tangan keduanya. Setidaknya kepergian kali ini terasa jauh lebih ringan.

Mobil dinas yang hanya berisi Aku dan Pak Supir melaju menembus kota, hutan, bukit, sungai, kota lagi, begitu seterusnya. Sesekali singgah untuk makan dan istirahat di kantor desa yang kami lewati.

Sesekali berbincang dengan Pak Supir, kemudian membaca buku yang diberikan Luna. Buku pelajaran untuk anak sekolah dasar, termasuk cara mengajarnya.

Perjalanan membutuhkan waktu selama 20 jam. Pak supir memarkirkan mobil di pasar desa terakhir, kemudian kami mulai melangkah menuju bukit. Tidak sampai disitu, kami masih harus mendaki selama tiga jam untuk sampai di sana, Desa Legarden, desa terpencil yang letaknya diperbatasan kerajaan Goldstain dan Sapphire.

Pak supir yang saat ini sedang memandu jalan, sampai mengatakan untuk melepas jubah agar tidak tersangkut dan kotor selama mendaki.

Perjalanan yang semula licin akibat tanah merah dan jalan setapak, mulai dilapisi bebatuan yang sudah disusun sedemikian rupa hingga membentuk jalan dengan rumput hijau di sisi kanan dan kiri. Suasana sejuk dari angin yang berhembus dan udara segar ku hirup dalam-dalam. Berusaha mengurangi rasa lelah usai perjalanan panjang.

Kami melanjutkan langkah selagi Aku masih sibuk mengamati lingkungan sekitar. Kebun teh yang dibuat undakan, pohon-pohon besar sebagai pembatas, serta bukit hijau sebagai latar. Semua pemandangan itu cukup untuk menyegarkan mata dan pikiran.

"Selamat datang" sapa seorang Pria paruh baya dengan senyum ramah.

Aku tersenyum selagi menanggapi dan sedikit membungkuk memberi hormat. Pakaiannya sederhana, hanya kaus abu-abu yang telihat lusuh, celana pendek berwana hitam, serta caping melekat di kepalanya.

Pak Supir ikut memberi hormat selagi mengenalkan sosok itu padaku. "Ellyna, ini Pak Daniel, kepala desa ini".

Aku mengulurkan tangan dengan sopan selagi mengenalkan diri, "Ellyna".

Daniel menyambut kami dengan ramah. Lalu, membawa kami berkeliling desa, menuju sekolah terbuka yang ternyata berupa pendopo serbaguna, rumah singgah untukku yang jaraknya sepuluh menit dari pendopo, tapi hanya lima menit dari rumah kepala desa.

Selama perjalanan, Aku tidak melihat lampu jalan yang harusnya dipasang dengan tiang. Hanya jalan tanah yang tidak rata, serta pepohonan yang letaknya sudah tak beraturan. Tiap kali kami melangkah, selalu ada warga yang menyapa, kemudian Pak Kepala Desa memperkenalkan Aku dengan bangga. Hal itu, membuatku terkesan.

Kalau saja lingkungan di rumahku masih sehangat ini. Mungkin, Aku tidak akan pergi.

Di rumahnya, kami di sambut dengan Ibu kepala desa yang manis dan ramah serta meja makan penuh hidangan. Tak lupa segelas teh chamomile hangat, produk unggulan desa yang selama ini menjadi sumber penghasilan utama.

Kami berbincang sejenak, tentang perilaku anak-anak desa yang acuh dengan pendidikan. Katanya, lebih senang ikut memetik daun teh. Katanya, lebih senang membungkus daun teh kering.

Perbincangan kami cukup lama, sampai Ibu kepala desa mengingatkan suaminya supaya mempersilahkan kami untuk istirahat usai perjalanan panjang. "Maaf, Bapak memang begitu. Terlalu bersemangat kalau ada tamu" ucap Ibu selagi mengantar Aku menuju rumah singgah.

The Grey in MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang