26: Pulang

10 2 1
                                    

Aku disambut oleh Ibu yang sudah menunggu di pekarangan rumah. Kami makan malam bersama dengan masakan Ibu yang melimpah di meja makan lengkap dengan makanan penutupnya.

Selama satu malam penuh, kami berbincang, menghabiskan waktu bersama untuk melepas rindu.

Esoknya, Aku memutuskan untuk mengelilingi desa karena selama dua tahun terakhir Aku hanya terperangkap di antara dinding, tanpa tahu kehidupan di baliknya.

Aku menatap langit, menghirup udara dalam-dalam, menikmati cahaya matahari menusuk kulit, mengamati awan yang bergerak perlahan, melihat kembali kehidupan di luar ruang.

Aku melangkah melewati pasar dan bukit tempatku melukis. Desaku tidak jauh berubah, hanya beberapa penduduk yang terasa asing, pasar yang semakin ramai dan variatif, serta bukit yang semakin rimbun.

Dari kejauhan, Aku melihat Allen, Harris, Skylar, Luna, dan Luke berjalan bersandingan menuju bukit. Mereka sesekali berbincang dan tertawa bersama.

Tanpa sadar Aku menunduk. Rasanya ingin mengubur diri dalam tanah bersama rasa malu dan hina. Meski hanya sekedar bertukar pandang atau berpapasan di jalan, Aku tidak sanggup melakukannya. Meski mengucap kata maaf terdengar mudah, bagiku itu tidak cukup setelah semua yang ku lakukan pada mereka.

"Ellyna, lama tidak berjumpa" ucap wanita paruh baya yang tinggal dekat rumah .

Aku tersenyum dan menjawab canggung, "Iya, sudah lama".

"Bagaimana rasanya belajar di kota? Saya lihat kemampuanmu berubah" ucapnya selagi melihat ke arah jubah merahku.

Tidak salah, Aku memang belajar tapi tidak di kota.

"Ah, tidak buruk" jawabku masih merasa canggung.

"Apa nama tempat itu?" tanyanya.

Tapi, alih-alih menjawab Aku malah ikut menuturkan pertanyaan. "Darimana Ibu tahu?" tanyaku.

"Luna" jawabnya. "Tapi, Luna tidak menjelaskannya" lanjutnya.

Mendengar namanya membuat dadaku menghangat. Mungkin Luna mengatakan itu agar berita buruk tentang keluargaku tidak tersebar, mungkin Ia ingin membantu Ibu agar bisa tetap tinggal di lingkungan ini dengan tenang dan percaya diri. Artinya, Luna masih peduli denganku.

"Jadi, dimana sekolah itu? Mungkin Aku akan menyekolahkan anakku di sana" tanyanya.

Lagi-lagi pertanyaan yang tidak bisa ku jawab. "Ah, maaf. Saya harus segera pulang" ucapku sedikit menunduk sebagai tanda hormat.

Selama perjalanan, beberapa warga menatapku aneh dan sesekali berbisik. Aku bisa saja bersikap acuh, layaknya diriku belakangan yang tidak merasakan apapun. Tapi, bagaimana Ibu bisa tinggal di lingkungan seperti ini? Terlebih dengan kemampuannya.

Aku duduk di depan meja makan, menatap Ibu yang sibuk memasak makan malam. Ibu bilang Ia akan memberikan seluruh waktunya untukku selama tiga hari kedepan untuk melepas rindu.

"Bagaimana bisa Ibu tinggal di lingkungan seperti ini?" tanyaku.

"Ini rumah kita, El" jawabnya tanpa menoleh. "Selagi mereka bisa menerima kita dengan baik, Ibu tidak peduli dengan apa yang mereka katakan" lanjutnya.

Mulut bisa saja berucap dengan hati yang diselimuti rasa resah dan gelisah. Dibicarakan banyak orang, seakan menunggu waktu melakukan tugasnya. Tugas untuk menenggelamkan kami dari tempat ini.

"Bagaimana kalau kita pindah? Kita mulai semuanya dari awal, Bu?" ucapku.

Ibu menoleh ke arahku, menatapku lembut dan tersenyum. "Ibu tidak bisa pergi. Di sinilah Ibu menghabiskan waktu dengan Kamu, Kakak dan Ayahmu, di sini lah semua kenangan itu tersimpan".

The Grey in MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang