Aku terbangun kala mendengar suara pintu terbuka. Di depan pintu berdiri Sergio dan seorang pria di sampingnya. Pria yang ku duga adalah dokter.
Sia-sia Aku melepaskan genggaman kami dengan perlahan dan hati-hati, begitu terlepas, Allen terbangun. Kami bertukar pandang, netranya seakan mengatakan untuk tetap tinggal. Memberi perintah padaku untuk tidak pergi.
"Di sini saja tidak apa-apa, El" ucap Sergio.
Aku tersenyum, menyapa keduanya, "Kalian dari perjalanan jauh, biar ku buatkan teh" ucapku lalu bergegas menuju dapur. Mengabaikan pandangan Allen.
Ku gelar karpet di ruang tengah, meletakkan dua gelas teh hangat sekaligus roti yang diberikan Owen. Sekilas, Aku melihat keadaan diluar yang ternyata sudah gelap.
Satu-persatu obor kunyalakan, bertepatan dengan kehadiran Owen. "Bagaimana keadaannya?" tanyanya begitu sampai.
"Sedang diperiksa" Aku menerima kantung plastik ukuran sedang berisi bahan makanan yang ku titipkan. "Masuklah, ku siapkan makan malam".
Owen menggeleng, "Aku akan makan malam dengan Ibu. Setelah mendengar kabarnya, Aku akan pulang".
Ia menunggu di ruang tamu selagi Aku menyiapkan makan malam ringan berupa risotto. Selang beberapa menit, Aku mendengar suara orang berbincang dan suara Sergio yang memanggilku untuk bergabung.
"Obatnya diminum setelah makan, tiga kali sehari" ucap sang dokter selagi menyerahkan dua bungkus obat antibiotik dan pereda nyeri.
"Baik, dok" jawabku selagi menerimanya dan bergegas kembali ke dapur membawa du mangkuk risotto.
Saat itu, keberadaan Owen sudah tidak terlihat. Mungkin, sudah kembali. Aku meninggalkan keduanya makan malam dan kembali ke dapur untuk menyiapkan bekal perjalanan berupa teh hangat dan roti sambil sesekali melahap risotto.
"Maaf merepotkan" ucap Sergio selagi berpamitan.
"Tidak perlu terburu-buru. Istirahat dulu dan kembali dipagi hari" Sergio pasti lelah. Mereka akan sampai tepat tengah malam, kasihan kalau Sergio harus kembali lagi menempuh tiga jam perjalanan mendaki. Kakinya pasti sudah kebas.
Ia mengangguk, mengiyakan, dan menghilang di tengah kegelapan.
Kembali ke dalam ruang tamu, meletakkan dan mencuci bekas peralatan di dapur, lalu memastikan kondisi Allen. Ia menoleh ke arahku yang berdiri di depan pintu. Tidak sepucat sebelumnya, bibirnya tersenyum manis.
"Sudah minum obat?" tanyaku yang dalam waktu singkat dijawab dengan gelengan kepala.
Kalau tahu Allen belum tidur, Aku akan menemuinya lebih dulu. Tapi, Sergio dan dokter tidak mengatakan apapun seakan membiarkan Allen istirahat. Yasudah, yang sudah biarlah sudah.
Aku kembali ke dalam kamar dengan segelas air putih dan semangkuk risotto yang sudah di panaskan. Tak lupa dengan obat yang diberikan dokter.
"Kamu sudah makan?" tanyanya selagi bangkit dan menerima mangkuk.
"Sudah, dengan Sergio dan dokter" tangannya bergetar membuatku mengambil kembali mangkuk itu. "Ku kira kamu sudah tidur" lanjutku kali ini memperhatikan tangannya yang menggenggam sendok.
"Aku takut kamu pergi" ucapnya dengan tangan bergetar.
Aku mengambil alih sendok dan menyuspinya. Sedikit demi sedikit.
"Jadi ingat cupcake buatanmu yang pernah dibawa Ibu" ucapnya di sela-sela kegiatan mengunyah. "Itu masakan pertamamu yang ku makan" lanjutnya sebelum melahap satu sendok lainnya.
"Suka?" tanyaku.
Wajahnya bingung, "Aku tidak terlalu suka makanan manis" ucapnya ragu. "Aku ingin merasakan ini, tapi mulutku pahit" tangannya bergerak menunjuk mangkuk ditanganku.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Grey in Me
RomanceEllyna harus melalui usia delapan belas tahunnya dengan hati-hati. Menghindar dari seseorang tanpa tahu siapa yang harus dihindari, tanpa tahu apa penyebab dan alasannya. Hanya bermodal ucapan Ayahnya sebelum pergi 'Berhati-hatilah, dia berbahaya'. ...