18: Putusan

6 1 0
                                    

Semua pergi, menyisakan Aku yang masih terduduk kaku bersama dua prajurit kerajaan yang berdiri di depan pintu.

Keduanya bergegas membawaku kembali dengan cara dan jalur yang sama. Saat itu Aku tidak peduli dengan sekitar, tidak pula peduli kemana mereka akan membawaku. Aku hanya menunduk dan mencoba mencari titik permasalahan.

Berdasarkan informasi yang kami dapat katanya, tapi darimana? Siapa?

Selama belasan tahun keluargaku dapat menyimpannya dengan rapih, mengapa baru sekarang? Tepat diusia delapan belas tahunku dan tepat setelah Aku menentukan pilihanku sendiri.

Bukan Luna karena selama Aku berteman dengannya semua baik-baik saja. Bukan juga Luke karena bertemu saja baru beberapa kali. Harris dan Skylar, mungkin, tapi tiap kali bertemu kami hanya bertengkar tidak sampai bertukar kisah satu sama lain. Allen..

Benar. Allen pernah berkata bahwa dia melihatnya, bintang abu-abu. Tanpa aba-aba rahangku mengeras dan tanganku mengepal kuat. Pikiran yang semula buntu, kini bercabang. Berbagai macam dugaan mulai muncul ke permukaan.

Mungkin Allen membenci takdir itu, takdir yang mengharuskan kami untuk bersama. Ia tidak sudi, benci, bahkan mungkin jijik. Ia tidak pula mempertimbangkan ritualnya karena tidak ingin ada orang yang tahu, terlebih orang tua dan kerajaan.

Tanpa sadar Aku sudah kembali di ruang jeruji, berdiri mematung di dekat pintu selagi sibuk mengutuk diri sekaligus menyesali pilihanku.

Harusnya Aku tidak mengatakan. Harusnya Aku tidak cepat memutuskan. Harusnya Aku menghilang saja ditelan bumi. Harusnya.. harusnya.. padahal semua itu sudah terjadi. Sudah tidak bisa dicegah, disesalipun sia-sia.

Aku menarik rambutku kasar, melampiaskan amarah yang tertahan. Aku menyesal, sakit, lelah, dan marah pada diriku sendiri karena pernah menaruh harapan dan percaya padanya. Allen benar-benar tidak bisa dipercaya, apalagi diharapkan. Sedikitpun tidak pernah terpikir Ia akan melaporkanku.

Dalam jeruji yang dingin, Aku larut dalam pikiran.

Aku melangkah menuju rumah yang rasanya sudah bertahun-tahun tidak ku kunjungi. Aku tersenyum, mataku berbinar, jantungku berdetak cepat, dan tubuhku bergerak tanpa henti merasakan gairah yang menggebu-nggebu. Rasanya langkah, bahu, pikiran, dan dada ini sangat ringan. Tanpa perasaan yang menakutkan. Tidak ada sedih, gelisah, takut, amarah, atau kecewa. Rasanya tubuhku bisa melayang di udara karena terlalu ringan.

Gairahku semakin meningkat begitu membuka pintu dan menemui sosok Pria yang kurindukan. Layaknya anak kecil, Aku berlari dan mendekapnya hingga Ia kewalahan.

Dalam dekapannya Aku menenggelamkan diri, membiarkan hangat menyelimuti tubuh kami. Menyalurkan rasa rindu yang tak bisa terucap.

"Kakak tidak pergi" ucapnya.

Aku melepas dekapanku dan menoleh ke arahnya. Ia tersenyum dengan mata yang bersinar.

"El, tidak perlu berlari" lanjutnya.

Aku mengangguk dan kembali mendekapnya. Tiba-tiba saja terdengar suara orang mengetuk pintu, Aku tertegun mendengar nada ketukannya yang tidak sabar sementara Kakak masih bertahan dengan senyum diwajahnya.

BUGH-
Sura keras memenuhi gendang telinga tepat sebelum pintu itu dibuka secara paksa hingga menunjukkan lima orang berjubah dan berwajah hitam dengan pedang yang tajam. Tanpa ragu dan segan, mereka mengarahkan belati itu pada Kakak, menyayat lehernya.

Disudut ruang Ibu dan Ayah sedang berdiri. Mereka tersenyum hingga belati itu menusuk dada keduanya. Tubuh keduanya membiru, wajahnya pucat, darah mengalir dari tubuh. Pemandangan itu membuat detak jantungku tak beraturan, jemariku dingin, dan napasku tercekat.

The Grey in MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang